Imam Ali as dalam bermunajat mengucapkan tiga kalimat ini:
إِلهِی کفی بِی عِزّاً أَنْ أَکونَ لَک عَبْداً، وَکفی بِی فَخْراً أَنْ تَکونَ لِی رَبّاً، أَنْتَ کما أُحِبُّ فَاجْعَلْنِی کما تُحِبُّ.
Artinya: “Ya Allah, cukup bagiku rasa mulia untuk menjadi hamba bagi-Mu. Cukup bagiku rasa bangga bahwa Engkau adalah Tuhanku. Maka, Engkau sebagaimana yang aku cintai, jadikanlah aku sebagaimana yang Kau suka.”
Kemuliaan dan kebanggan yang dicari
Sering kali manusia merasa lupa siapa dirinya. Begitu sibuk dengan kehidupan duniawi, manusia merasa ingin terus meraih kemuliaan dengan meninggikan martabat duniawinya. Merasa dengan menggapai pencapaian-pencapaiannya ia dapat membanggakan diri. Padahal tak jarang manusia yang merasa sudah menggapai prestasi duniawinya justru semakin lupa siapa dirinya yang sebenarnya, lupa bahwa dirinya adalah hamba Allah.
Padahal, daripada manusia terus menerus lalai sibuk mengejar kemuliaan semu seperti itu, kemuliaan di mata orang lain dan di mata diri sendiri; mengapa manusia tidak meluangkan waktu untuk menyadari diri bahwa diri ini adalah hamba-Nya? Padahal itulah kemulian dan kebanggaan yang sebenarnya.
Menjadi hamba-Nya apalagi hamba yang benar-benar diakui-Nya adalah suatu kemuliaan dan kebanggaan tiada tara.
Pasrah mutlak menyerahkan diri kepada-Nya
Dalam berdoa dan meminta, tidak ada salahnya kalau kita menginginkan sesuatu sesuka hati kita kepada Allah. Jelas kita memang diperintahkan untuk meminta kepada-Nya. Namun, berdoa itupun ada tingkatannya. Jika tingkatan terendahnya adalah kita meminta Allah apa yang kita mau sesuka hati kita, tingkatan tertingginya adalah meminta Allah untuk melakukan apapun yang Ia suka terhadap diri kita; yakni pasrah seperti apapun Tuhan menginginkan kita jadi seperti apa, itulah yang kita inginkan.
Begitulah Imam Ali as bermunajat kepada Tuhannya.