Sebagaimana yang kita tahu ada istilah Wajib, ada istilah Mustahab dan ada juga Ihtiath.
Kalau wajib, artinya suatu perbuatan harus dikerjakan. Adapun Mustahab adalah, perbuatan itu tidak wajib dikerjakan, yakni bisa tiadak dikerjakan namun lebih baiknya dikerjakan. Lalu bagaimana dengan Ihtiath?
Misal ada himbauan dalam fikih, bahwa seorang Mukallaf perlu ber-Ihtiath dalam mengerjakan suatu perbuatan; yang maksudnya seorang Mukalaf perlu memastikan bahwa ia telah melaksanakan tugasnya terkait perbuatan itu.
Perhatikan contoh berikut ini: Seorang Mujtahid menulis dalam Risalahnya: “…terkait masalah ini, Ihtiath (berhati-hatinya) perbuatan tersebut ditinggalkan.”
Keberhati-hatian tersebut, secara umumnya (secara sekilas), berarti perbuatan itu Mustahab ditinggalkan / bisa juga dikerjakan meskipun sebaiknya ditinggalkan.
Tapi kita tidak perlu berhenti begitu saja hanya dengan mendengar hukum secara sekilas. Perlu kita ketahui bahwa Ihtiath itu sendiri ada dua macam: Ihtiath Wajib dan Ihtiath Mustahab. Nah kita harus tahu dan pastikan Ihtiath dalam contoh di atas apakah Ihtiath yang Wajib ataukah Ihtiath yang Mustahab?
Apa itu Ihtiath Wajib
Ihtiath Wajib adalah keberhati-hatian yang harus dilakukan oleh Mukallaf, yakni Mukallaf harus dan wajib berhati-hati, artinya harus meninggalkan perbuatan yang disebut di contoh di atas.
Apa itu Ihtiath Mustahab
Ihtiath Mustahab adalah keberhati-hatian yang tidak harus dilakukan, yakni silahkan berhati-hati dalam hal itu dan tidak berhati-hati pun sebenarnya tidak masalah, tapi lebih baiknya berhati-hati.
Ciri-ciri pembeda mana yang Ihtiath Wajib dan Mana yang Mustahab
Supaya kita tahu apakah Ihtiath yang disebutkan oleh Mujtahid itu merupakan Ihtiath Wajib ataukah Mustahab, begini caranya:
Jika dalam permasalahan fikih tersebut seorang Mujtahid tidak punya opini yang jelas dan pasti mengenai hukum perbuatan yang dibahas, lalu dia mengutarakan Ihtiath dalam perkara itu, maka Ihtiath itu merupakan Ihtiath Wajib. Kita harus ber-Ihtiath. Namun jika Mujtahid punya opini dan pendapatnya dia (fatwa dari dia) tentang hukum yang dibahas, lalu dia mengutarakan Ihtiath, maka Ihtiath itu merupakan Ihtiath Mustahab.
Contoh Ihtiath Wajib
“Wadah makanan/minuman yang najis secara Ihtiath/hati-hatinya dicuci dengan air Kurr sebanyak 3 kali.”
Di contoh ini, Mujtahid mewajibkan kita untuk berhati-hati: supaya benar-benar suci, harus dicuci tiga kali.
Sekarang bedakan dengan contoh Ihtiath Mustahab di bawah ini…
Contoh Ihtiath Mustahab:
“Wadah makanan/minuman yang najis jika dicuci sekali dengan air Kurr maka sudah suci hukumnya. Meskipun secara Ihtiath tiga kali dicuci.”
Di contoh ini, Mujtahid sudah mengutarakan pendapatnya bahwa sekali dicuci cukup. Namun kalau mau berhati-hati, dicuci tiga kali.
Mengamalkan Pendapat Mujtahid Lain Dalam Ihtiath Wajib
Ketika Mujtahid yang kita ikuti memiliki pendapat Ihtiath Wajib dalam satu masalah fikih, kita diberi pilihan untuk mengikuti perintah keberhati-hatian itu (perintah Ihtiath itu) atau kita boleh mengamalkan pendapat Mujtahid lainnya yang memiliki pendapat jelas mengenai masalah tersebut. Namun tidak sembarang melihat pendapat Mujtahid lainnya, kita harus memperhatikan urutan mana Mujtahid yang lebih ahli dibanding Mujtahid lainnya yang ingin kita minta pendapatnya.
Sebagai contoh, ketika kita merujuk ke Mujtahid lain, Mujtahid lain itu haruslah Mujtahid yang lebih ahli dibanding lainnya. Lalu kita lihat apa pendapatnya terkait masalah tersebut.
Referensi: