Menurut akidah mazhab Syi’ah, khalifah Rasulullah Saw memiliki dua tugas:
1. Pemerintahan Lahir
Yaitu pemerintah yang mengimplementasikan hukum (qanun), menjaga terlaksananya hak-hak dan menjaga negerinegeri Islam dan sebagainya.
Dalam masalah ini, khalifah seperti para pemerintahan yang lain. Dengan perbedaan bahwa dalam pemerintahan Islam terjaganya keadilan sosial yang merupakan kewajiban dan tipologi pemerintahan Islam.
2. Pemerintahan Maknawi
Dalam bagian ini, pemerintah mengemban tugas untuk menjelaskan poin-poin yang masih kabur, rumit dan masih belum dijelaskan dengan tuntas ihwal masalah madrasah (school of thought) kepada kaum muslimin.
Di samping menjalankan tugas sebagai pemerintah, khalifah juga mengemban tugas sebagai penjelas ahkam (plural dari hukum) dan mufasir Alquran. Ia juga dapat menjaga maktab dari segala macam penyimpangan dan membelanya dari segala keraguan (syubhat).
Oleh karena itu, khalifah seharusnya seorang yang lebih alim dan lebih tahu di kalangan umat perihal masalah-masalah fondasi dan muatan-muatan syariat. Yakni, ia melebihi dari yang lain telah melepas dahaga ilmu dan makrifat dari sumber mata air ilmu dan makrifat Nabi.
Dengan demikian, ia harus memiliki keislaman yang lebih awal dan telah banyak mengambil manfaat dari Nabi Suci saw. Demikian juga, ia harus mengedepankan kepentingan kaum muslimin dan umat Islam di atas kepentingan pribadi atau golongan. Demi menjaga Islam ia pun rela mengorbankan jiwa dan raga.
Khalifah dari sisi pemerintahan adalah penguasa atas seluruh harta kaum muslimin, seperti harta khumus, zakat, pendapatan negara, pajak, rampasan perang (ghanimah), tambang, dan harta-harta umum. Kesemua ini merupakan harta yang berada dalam kekuasaan khalifah.
Khalifah juga memiliki tugas, tanpa adanya pelanggaran dan kezaliman, untuk membagikan harta-harta ini kepada kaum muslimin; atau demi kemaslahatan umat ia dapat memanfaatkan negeri-negeri Islam.
Oleh karena itu, seorang khalifah tidak boleh memiliki hasrat dan keinginan terhadap dunia, sehingga dalam menghadapi perasaan-perasaannya tidak terjerembab dan terpuruk dalam kesalahan.
Persis dengan alasan ini, khilafah merupakan posisi yang ditentukan oleh Tuhan yang di dalamnya seorang khalifah ditetapkan dari orang-orang yang paling layak dan paling berilmu di kalangan umat, dan bukan masalah pemilihan (yang dilakukan oleh umat—SZ). Dengan kata lain, khilafah merupakan penetapan ketika suara rakyat tidak memiliki pengaruh sama sekali di dalamnya. Oleh karena itu, untuk menentukan pengganti Rasulullah saw, kita harus mencarinya dengan perhatian yang fair dan tidak berpihak dalam nas dan instruksi hukum serta sabda-sabda Nabi saw tentang masalah ini dan mengamalkan apa yang telah kita temukan dari nas, hukum dan sabda Nabi saw.
Kita telah mengetahui bahwa peristiwa Al-Ghadir merupakan salah satu sandaran yang paling dapat diandalkan dan merupakan sebuah peristiwa yang terjadi dalam Dunia Islam.
Di samping itu, hadis wilayah merupakan salah satu hadis yang paling definitif yang telah datang dari Nabi saw. Dari sisi makna dan mafhum-nya (yang dapat dipahami darinya) tidak terdapat sedikit pun sifat mubham (kabur, tidak jelas) dan mujmal (global, tidak rinci) di dalamnya; lantaran bagi mereka yang telah merasakan aroma sastra Arab dan familiar dengan muatan-muatan ‘urf (kebiasaan umum) – kebiasaan orang-orang berakal dan melihat dengan pandangan tanpa bias dan prasangka, ia akan memberikan pengakuan bahwa hadis ini memberikan petunjuk tentang masalah imamah, kepemimpinan, dan keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as atas yang lain.
Bahkan apabila kita tidak menganggap adanya hari Ghadir ini sekalipun, kita tetap masih cukup memiliki selaksa hadis yang diriwayatkan oleh Ahlusunnah dan Syi’ah ihwal masalah imamah dan kepemimpinan Amirul Mukminin Ali as (masih banyak hadis-hadis lainnya yang membuktikan kebenaran kepemimpinan Imam Ali as setelah nabi).
Sumber: Buku GHADIR KHUM – Kajian Kritis Berdasarkan Riwayat Ahlusunnah