Ada beberapa permasalahan yang telah menjadi tanda tanya bagi setiap manusia sejak ia menyadari keberadaannya di alam wujud ini. Dengan fitrah alamiahnya ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya. Ia bertanya kepada dirinya sendiri: “Apakah alam semesta memiliki sang pencipta? Jika memang ada sang pencipta yang telah menciptakannya, apa kiranya tujuan-Nya dalam penciptaan tersebut? Apakah kita memiliki tugas dan kewajiban yang harus ditunaikan terhadapnya?”
Jawaban setiap salah satu pertanyaan di atas adalah positif. Akan tetapi masih ada berbagai macam pertanyaan lain yang bercabang dari pertanyaan-pertanyaan di atas yang mana secara fitri manusia selalu berusaha untuk menjawabnya dengan benar.
Ini adalah permasalahan yang sangat mendasar dan terpenting bagi setiap manusia. Secara fitri, manusia ingin menyelesaikan permasalahan ini secara logis dengan penuh kepastian.
Menelaah Kembali Pertanyaan
Tentu saja ada faktor tertentu yang telah mendorong kita untuk bertanya mengenai tujuan penciptaan alam semesta ini. Karena kita—sebagaimana yang kita sadari—telah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang memiliki tujuan yang sesuai dengan perbuatan tersebut dan yang jelas, bermanfaat bagi diri kita. Kita pergi ke meja makan karena kita ingin merasa kenyang. Kita meneguk segelas air karena kita ingin melepas dahaga. Kita membangun sebuah rumah agar kita dapat berteduh dan tinggal di dalamnya. Kita berbicara karena kita ingin mengungkapkan isi hati kita. Dan banyak hal yang lain yang kita lakukan demi tercapainya tujuan-tujuan tertentu.
Setiap manusia, bahkan semua makhluk yang memiliki perasaan, tidak mungkin pernah melakukan suatu perbuatan tanpa ada tujuannya. Perbuatan yang tidak berguna dan bermanfaat, tidak mungkin dilakukan oleh mereka. Dengan menyadari adanya tujuan-tujuan perbuatan dalam amal perbuatan kita sehari-hari, menyebabkan kita bertanya-tanya: “Tujuan apa yang diinginkan Tuhan—sebagaimana Ia adalah pelaku penciptaan—dalam menciptakan makhluk-makhluk-Nya?”
Tapi, apakah hanya dengan membandingkan perbuatan Tuhan dengan perbuatan kita dari segi adanya tujuan kebenaran pertanyaan seperti ini dapat terjamin? Apakah suatu kesimpulan yang dapat kita ambil dari beberapa fenomena kehidupan dapat kita jadikan alasan untuk mengatakan bahwa semuanya juga memiliki kriteria yang sama? Jawaban pertanyaan ini adalah negatif. Satu-satunya jalan penyelesaian masalah ini adalah meneliti maksud dari pada kata “tujuan”.
Dalam contoh makanan di atas, pada hakikatnya tujuan kita dalam melakukan “makan” hanya akan tercapai dengan dilakukannya “makan” tersebut. Rasa kenyang memiliki keterikatan dengan makanan; karena kenyang adalah akibat dari dimakannya makanan. Yakni, dengan masuknya makanan ke dalam sistem pencernaan, perut akan melakukan aktifitas pencernaan kemudian ia akan melarang sang pemilik perut untuk memasukkan makanan lain karena kebutuhannya telah terpenuhi. Jadi, rasa kenyang merupakan “akibat” dari sebuah “sebab” yang bernama “memakan makanan”. Dan “makan” adalah suatu gerak khusus yang bermulai dari diri kita dan berakhir pada sebuah “akibat” yang bernama “kenyang”; setelah itu, “makan” akan tidak lagi ada. Dan “memakan makanan” juga memiliki keterikatan dengan diri kita sendiri (karena kita adalah pelakunya); hubungan tersebut adalah: karena kita merupakan makhluk yang tidak dapat hidup kecuali dengan perut terisi, dan kita juga memiliki anggota tubuh yang dapat membantu diri kita untuk mengisi perut, maka kita terdorong untuk melakukan perbuatan “memakan makanan” tersebut sehingga kehidupan kita akan terus berlangsung.
Rasa butuh yang ada dalam diri kita telah mendorong kita untuk menggerakkan beberapa anggota badan untuk melakukan suatu aktifitas tertentu sehingga kebutuhan tersebut dapat terpenuhi. Maka, rasa “kenyang” selain memiliki hubungan dengan “memakan makanan”, ia juga memiliki hubungan dengan diri kita. Karena rasa kenyang bagi kita adalah semacam kesempurnaan yang dapat memenuhi kekurangan kita yang bernama “lapar” yang mana rasa lapar tersebut telah mendorong kita untuk mencapai suatu perbuatan yang bernama “memakan makanan”; lalu dengannya kita dapat menyempurnakan suatu kekurangan yang berupa “lapar”.
Semua perbuatan yang dengan sengaja kita lakukan sehari-hari, seperti: minum, duduk, berdiri, berbicara, mendengar, pergi, pulang, dan lain sebagainya, sama seperti “makan” yang telah kita teliti di atas. Meskipun perbuatan-perbuatan yang kita lakukan sebagai iseng, jika kita sedikit lebih teliti, kita akan mengakui bahwa jika sekiranya perbuatan tersebut tidak ada manfaatnya bagi kita, maka kita pasti tidak akan melakukannya.
Seorang yang mampu dari segi ekonomi, akan merasa kasihan melihat saudaranya kesusahan. Maka ia mencoba untuk mengulurkan tangan dan membantu. Rasa kasihan yang ada di dalam dirinya, mendorongnya untuk memberikan pertolongan. Dengan demikian, ia telah mencapai tujuannya dan kini rasa kasihan di hati telah tiada lagi.
Dengan beberapa penjelasan di atas, kita dapat memberikan kesimpulan bahwasannya tujuan perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja dilakukan merupakan sesuatu yang memiliki kesesuaian dan hubungan yang erat dengan perbuatan tersebut. Dan tujuan tersebut, merupakan sebuah kesempurnaan bagi sang pelaku perbuatan yang mana dengan dicapainya tujuan, kekurangan pelaku perbuatan dapat terpenuhi.
Ini adalah kesimpulan yang dapat ambil dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan unsur kesengajaan dan pelakunya adalah maujud yang memiliki ikhtiar dan kehendak. Akan tetapi, jika kita sedikit lebih teliti lagi, kita akan mendapati bahwa semua hal yang berkaitan dengan perbuatan dan pelaku-pelaku berkehendak, kurang lebih kita juga dapat memukannya dalam perbuatan dan pelaku-pelaku yang tak berkehendak; seperti faktor-faktor alamiah yang menyebabkan terjadinya berbagai macam kejadian alam. Karena setiap maujud yang ada di alam semesta dan segala maujud materi yang tersusun dari bagian-bagiannya, juga memiliki dorongan-dorongan tertentu seperti halnya seorang pelaku berkehendak yang memiliki dorongan batin dalam melakukan suatu perbuatan demi tercapainya tujuan dan terpenuhinya kekurangan. Dan hasil dari perbuatannya itu, selain berhubungan erat dengan perbuatan, ia juga berhubungan erat dengan pelakunya. Ya, tidak berbeda dengan pelaku-pelaku berkehendak seperti manusia. Maka sebenarnya berkehendak atau tidak berkehendaknya pelaku suatu perbuatan tidak memberikan perbedaan bagi keberadaan tujuan dan juga hubungannya dengan pelaku dan perbuatan tersebut.
Meski sepertinya tujuan perbuatan yang dimiliki pelaku-pelaku berkehendak tidak dapat disamakan dengan tujuan perbuatan pelaku-pelaku tak berkehendak, tapi pada hakikatnya tidak ada perbedaan diantara keduanya.
Semuanya Bertujuan
Dengan dijelaskannya penjelasan di atas, kita telah menyimpulkan bahwa dibalik semua gerak yang terjadi di alam semesta terdapat sesuatu yang bernama tujuan. Selama undang-undang sebab dan akibat masih berlaku, dapat dipastikan bahwa tidak akan pernah ada suatu gerakan yang tak bertujuan dan tidak ada satupun faktor gerak dan pelakunya yang tidak butuh kepada tujuan tersebut.
Jika kita memperhatikan setiap maujud dari segala macam jenisnya, seperti: manusia, seragga, pohon apel, tumbuhan gandum, sepotong besi, dan lain sebagainya, kita akan mendapati bahwa semuanya memiliki keserasian dan kecocokan wujud dengan alam dan lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, untuk mencapai suatu tujuan yang mereka perlukan, mereka melakukan berbagai pola gerak tertentu yang kemudian jika gerak tersebut telah usai, maka hasilnya (tujuannya) akan menggantikan posisinya. Dan dengan tercapainya tujuan, kebutuhan alamiah pelaku gerak dapat terpenuhi dan kesempurnaan wujudnya telah ia dapatkan.
Semua kelompok makhluk dan maujud yang berada di alam semesta seperti: kelompok manusia, kelompok kuda, kelompok pohon apel, dan kelompok-kelompok yang lainnya memiliki kriteria seperti ini. Mereka senantiasa melakukan aktifitas geraknya masing-masing dalam memburu tujuan-tujuan tertentu. Dan dengan tercapainya tujuan-tujuan tersebut, kekurangan alamiah mereka akan terpenuhi dan dengan demikian, mereka akan dapat bertahan untuk menlanjutkan hidup dan meneruskan keberadaan.
Permasalahan ini juga berlaku bagi sekumpulan isi alam yang mana dapat dipastikan bahwa terdapat keterkaitan erat di antara mereka.
Pada dasarnya, setiap gerakan yang terjadi dimulai dari satu arah dan berakhir di arah yang lain dan pasti ada suatu perantara yang akan menyambung sesuatu dengan sesuatu yang lain dan suatu arah dengan arah yang lain. Arah yang sedang dituju oleh gerak adalah tujuan gerakan tersebut yang mana ia akan menyempurnakan kekurangan dan memenuhi kebutuhan sesuatu yang sedang bergerak. Ketika gerak tersebut telah mencapai arah yang dituju, maka dengan sendirinya gerak akan berubah menjadi diam; meskipun sebenarnya diam ini merupakan gerak yang lain lagi dan juga memiliki tujuan yang lain pula.
Kita tidak pernah bisa membayangkan adanya gerak tanpa adanya arah yang dituju. Kita juga tak bisa membayangkan adanya gerak yang mengarah kepada suatu arah, tetapi arah tersebut tidak memiliki hubungan dan keterkaitan dengan gerak tersebut, yakni tidak mungkin hanya secara kebutulan saja gerak mengarah ke arah itu. Kita tak bisa membayangkan pula adanya dorongan yang menyebabkan gerak akan tetapi dorongan tersebut tidak memiliki hubungan sebab dan akibat dengan gerak tersebut. Jelas kita juga tak mampu membayangkan adanya dorongan penyebab gerak yang berkaitan dengan gerak tersebut akan tetapi ia tidak memiliki hubungan dengan tujuan gerak.
Keterhukum menakjubkan yang kita lihat di dalam segala aktifitas sebab dan akibat dan juga adanya hukum-hukum alam yang tidak dapat dihindari dan bersifat tetap, membuat kita berpikiran bahwa mustahil ini semua terjadi hanya secara kebetulan.
Menurut seorang ilmuan, kemungkinan tersusunnya suatu maujud yang terdiri dari sepuluh atom secara kebetulan dan memiliki bentuk tertentu, adalah satu kemungkinan dari sepuluh juta kemungkinan. Dan menganggap satu kemungkinan di atas lebih utama dari sepuluh juta kemungkinan yang lain tanpa alasan tertentu merupakan gagasan yang tak berdasar dan amat sangat konyol.
Akal dan pikiran yang sehat tidak akan mengizinkan manusia untuk berpikiran bahwa di antara gerak, pelaku, dan tujuan tidak terdapat sedikitpun hubungan yang akan mengaitkan ketiga hal tersebut satu sama lain. Dan jika kita berpikiran sedemikian rupa, maka artinya kita telah membatilkan semua teori-teori ilmiah yang kita miliki.
Tujuan Alam
Alam semesta beserta segala isinya mulai dari maujud terkecil sampai yang paling besar, memiliki keterkaitan dan hubungan yang sangat erat. Dengan demikian alam dan segala isinya merupakan satu kesatuan maujud yang mana dirinya merupakan maujud yang selalu berada dalam jalur perubahan dan pergantian. Dan sesuai dengan teori ilmiah dan filosofis, satu kesatuan maujud ini memiliki suatu gerak besar-besaran yang berjalan menuju kepada suatu tujuan tertentu yang mana dengan dicapainya tujuan tersebut, gerak akan berubah menjadi diam dan alam semesta yang serba bergerak ini akan menjadi alam yang diam dan tenang.
Alam di masa yang akan datang, yang mana merupakan tujuan alam kita di masa ini, adalah alam yang diam dan penuh akan ketenangan. Kelak alam ini akan mencapai kesempurnaannya dan segala kekurangan yang dimilikinya pasti akan terpenuhi; begitu pula segala potensi yang dimilikinya, kelak akan terwujud secara aktual.
Tapi apakah kesempurnaan yang kelak akan ia capai merupakan kesempurnaan yang relatif? Yakni apakah hanya karena dibandingkan dengan kondisi alam di masa ini, kita menyebut alam di masa yang akan datang sebagai alam yang telah sempurna?
Dengan ibarat lain, apakah tujuan yang akan dicapai kelak oleh alam semesta ini sama seperti tujuan kecil—yang mengandung kesempurnaan relatif bagi yang menujunya—yang dimiliki oleh seorang manusia yang hidup di dalamnya saat ini? Karena sesungguhnya meskipun manusia telah berdiam dan sampai di tujuannya, pada hakikatnya ia masih berada dalam gerak yang lain dan harus melangkah lebih ke depan lagi dengan tujuan yang lain pula; atau tidak seperti ini, yakni tujuan yang kelak akan dicapai oleh alam semesta adalah tujuan yang berupa kesempurnaan hakiki dan tidak akan ada lagi gerak lain yang dibutuhkan? Apakah dengan tercapainya tujuan tersebut alam tidak akan kembali berputar seperti semula untuk melanjutkan gerak yang baru?
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sebenarnya masalah ini sangat susah untuk dimengerti. Alam semesta di masa yang akan datang adalah alam yang tetap, sempurna, dan merupakan tujuan yang sedang dituju oleh alam yang selalu bergerak dan serba kekurangan di masa kita hidup sekarang ini. Alam di masa yang akan datang adalah tujuan utama yang mana kini karavan wujud sedang bersusah payah merangkak menujunya. Kelak akan datang suatu masa yang mana semua maujud akan mendapatkan segalanya hadir di hadapan mata dan semua potensi yang ada akan terwujud nyata.
Ya, dengan memahami penjelasan ini, mungkin setiap orang akan lebih bertanya-tanya dan mucul puluhan bahkan ratusan soal dan pertanyaan yang lain di benaknya. Dan pada hakikatnya, pembahasan ini merupakan pembahasan tersulit dan termasuk sebagai salah satu pembahasan falsafi yang sangat mendalam. Hal ini merupakan suatu teori filosofis yang tidak dapat dipahami dengan menggunakan panca indera biasa; oleh karenanya susah untuk dicerna oleh pikiran kita. Selama kita masih membuka kedua mata kasar ini, dan selama kita memandang pemandangan dunia materi ini, kita akan mendapati bahwa segala yang ada selalu mengalami perubahan, perpindahan, pergantian, dan kefanaan. Dan diri kita sendiri merupakan bagian dari karavan wujud yang sedang merangkak di jalan ini. Intinya, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pembahasan ini dapat di jawab dengan beberapa pembahasan falsafi yang sangat dalam dan berdasarkan pondasi-pondasi pemikiran yang logis dan meyakinkan serta tak dapat diragukan. Dan perlu diketahui bahwa teori ini, yakni tentang begeraknya alam semesta dan adanya tujuan tetap yang mana kesempurnaan alam berada di sana, dapat memberi tahu kepada kita akan adanya hari kebangkitan yang mana para ulama agama telah menetapkannya melalui dalil-dalil berupa wahyu Ilahi dan ucapan-ucapan para utusan-Nya.
Tujuan Tuhan dalam Penciptaan Alam
Dengan dibawakannya pembahasan yang telah dibahas di awal tulisan ini, telah menjadi jelas bahwa tujuan memiliki keterikatan dengan gerak atau perbuatan yang mana tujuan tersebut akan merubah gerak menjadi suatu keadaan diam. Ia juga memiliki hubungan dengan pelaku gerak, yang mana dengan dicapainya tujuan, pelaku dapat menyempurnakan kekurangan yang ia miliki dan memenuhi kebutuhannya. Dalam membahas sifat-sifat Allah Swt, kita masih ingat bahwa dzat Tuhan adalah kesempurnaan mutlak yang mana tidak ada sedikitpun kekurangan dan cacat yang terdapat dalam wujud-Nya.
Dengan menerapkan kedua pandangan di atas dengan perbuatan-perbuatan yang Tuhan lakukan, kita dapat memberikan kemungkinan atau menetapkan bahwa Tuhan juga memiliki tujuan dalam setiap perbuatan (sebagaimana yang telah dijelaskan dengan detail). Tapi pada hakikatnya tujuan yang dimiliki oleh Allah Swt sangat jauh berbeda dengan tujuan yang dimiliki makhluk-Nya. Keterangannya, untuk menjawab pertanyaan seperti: “Apa tujuan penciptaan makhluk?”, dan “Mengapa Allah Swt menciptakan maujud lain yang bernama makhluk?”, jika yang dimaksud adalah: “Apa tujuan perbuatan Tuhan ini?” Maka kita dapat menjelaskan bahwa tujuan penciptaan alam semesta yang serba kekurangan ini adalah untuk menjadi alam yang sempurna dan lebih sempurna. Akan tetapi jika maksud pertanyaan di atas adalah: “Kekuarangan apakah yang dimiliki Tuhan yang mana dengan cara menciptakan alam semesta, Ia dapat memenuhi kekurangan tersebut? Dan kesempurnaan apa yang sedang dituju oleh Tuhan sehingga membuat-Nya tertarik untuk menciptakan alam ciptaan?”, maka pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang salah dan jawabannya adalah negatif.
Jika kita menengok ajaran-ajaran agama Islam, kita akan mendapati bahwa Islam mengatakan bahwa tujuan penciptaan adalah pemberian keuntungan dari pihak Tuhan kepada selain-Nya. Allah Swt menciptakan makhluknya supaya makhluk mendapatkan banyak keuntungan; bukannya supaya Allah Swt yang mendapatkan keuntungan.
Sebagai penutup harus diingatkan bahwa sebagaimana yang telah kita bahas mengenai makna “tujuan”, kini kita telah mengetahui bahwa tujuan hanya terwujud bagi para pelaku yang mana ia dan perbuatannya memiliki kekurangan dan dengan dicapainya tujuan, kekurangan tersebut dapat tercukupi. Dengan demikian, jika perbuatan, yakni penciptaan tidak memiliki kekurangan sedikitpun (seperti Mujarrad Aqli dalam istilah Filsafat), maka tujuan dengan pengertian seperti ini tidak akan pernah ada.
Ya, para filsuf telah mengkaji lebih jauh dan mendapatkan kesimpulan bahwa sebenarnya tujuan perbuatan adalah kesempurnaan perbuatan tersebut dan tujuan pelaku adalah kesempurnaan pelaku. Perbuatan terkadang bertahap dan kesempurnaannya akan tercapai nanti setelah terlewatinya tahapan-tahapan tertentu; dan terkadang tidak bertahap, tidak bersifat materi, dan tidak bergerak. Jika kesempurnaannya tidak bertahap, maka wujud perbuatan adalah perbuatan itu sendiri dan juga tujuan serta kesempurnaannya.
Begitu juga dengan pelaku, terkadang ia memiliki kekurangan dan setelah melakukan suatu perbuatan tertentu ia dapat mencapai kesempurnaannya; dan terkadang juga sebaliknya, sang pelaku tidak berkekurangan, yakni sempurna. Jika pelaku tersebut sempurna, maka selain ia merupakan pelaku, ia sendiri adalah tujuan, serta kesempurnaannya. Oleh karena itu, tujuan Allah Swt dalam penciptaan alam semesta adalah diri-Nya sendiri. Dan tujuan perbuatannya, yakni penciptaan alam semesta, karena sebelumnya merupakan maujud yang berkekurangan, maka tujuannya adalah untuk menjadi alam yang sempurna. Dan tujuan dari alam yang sempurna, adalah alam yang sempurna itu sendiri.