Senin, Desember 9

Perbudakan dalam Islam

Tanya: Sebelumnya, saya pernah bertanya mengenai perbudakan dalam Islam, kemudian Anda menyarankan agar saya merujuk kitab Tafsir Al-Mizan jilid keenam. Akan tetapi setelah merujuk kitab itu, persoalan saya masih saja belum terselesaikan.

Saya pernah bertanya, kenapa di masa-masa awal berdirinya Islam, berbudakan dibolehkan atas dasar situasi dan kondisi waktu itu, padahal kita sadar bahwa pemikiran manusia semakin hari semakin berkembang, dan pada suatu hari nanti akan datang masa yang umat manusia sangat membenci perbudakan. Selain itu, memang perbudakan secara rasional tidak dapat diterima, karena dengan perbudakan, sebagian orang menguasai sebagian yang lain dan mengekang kebebasannya. Begitu juga, kalaulah ada orang kafir, misalnya, yang telah menjadi budak dan hidup di lingkungan Islam serta terdidik dengan ajaran-ajaran Islam di dalamnya, lalu mengapa anak-anak mereka—meskipun telah beragama Islam—masih juga berstatus budak? Jika Anda mengatakan bahwa Islam telah mengusahakan kesejahteraan untuk hidup mereka, namun menurut saya, alasan Anda tidak dapat menyelesaikan keberatan saya terhadap dibolehkannya perbudakan. Saya mohon Anda bersedia menjelaskan masalah ini.

Jawab: Anda telah menulis seperti ini, “… Anda menyarankan agar saya menemukan jawaban persoalan mengenai perbudakan Islam dalam kitab Tafsir Al Mizan jilid enam. Akan tetapi saya tidak menemukan jawaban. Kesimpulannya, pola berfikir manusia semakin berkembang dan kini umat manusia sangat membenci perbudakan dan secara rasional perbudakan juga tidak dapat diterima. Dan jika ada yang mengatakan Islam telah menjadikan orang-orang kafir sebagai budak supaya mereka terdidik dengan ajaran-ajaran Islam, saya akan bertanya, “apa dosa anak-anak mereka yang meskipun telah menerima Islam sebagai agama, tetap menjadi budak?” Dan jika dikatakan Islam telah mengusahakan kesejahteraan hidup mereka, saya akan menjawab, “Persoalan kami yang sebenarnya terfokus pada hukum dibolehkannya perbudakan dalam Islam.”

Sepertinya Anda kurang ketelitian dalam menelaah kitab tafsir yang saya maksudkan itu. Tapi saya berusaha untuk menerangkannya di sini.

Pada dasarnya, perlu diketahui bahwa pertama, meskipun sebenarnya manusia diciptakan secara bebas dan mampu berkehendak, bukan berarti manusia harus mengaktifkan kebebasan secara mutlak tanpa hukum. Manusia secara bebas dapat hidup di tengah-tengah masyarakat. Tapi bukan berarti ia bebas melakukan apa saja yang ia mau tanpa peduli terhadap hukum dan norma sosial. Singkatnya, arti kebebasan manusia adalah kebebasan yang teratur dan berhukum.

Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang bebas berhukum; bukan bebas tak berhukum. Oleh karenanya, dalam hal-hal yang terlarang, manusia tidak bebas untuk melanggar larangan tersebut. Kita tidak bisa memberikan kebebasan kepada orang yang sakit jiwa, orang bodoh, anak-anak kecil, dan para penjahat.

Kedua, yang sedang kita permasalahkan saat ini sebenarnya bukan masalah “perbudakan” secara bahasa, tapi makna perbudakan tersebut (karena makna perbudakan dalam Islam yang sering terlintas di benak setiap orang bukanlah makna perbudakan dalam Islam yang sebenarnya-pent.). Pada hakikatnya, perbudakan menghapus kebebasan orang lain untuk berbuat. Jelas sekali, kalau saja seseorang tidak punya kebebasan dalam bertindak dan beraktifitas, maka segala hal yang ia lakukan adalah perintah atau paksaan dari orang lain. Oleh karena itu, budak dapat diperjualbelikan.

Masalah perbudakan pada manusia zaman dahulu berlangsung dalam beberapa model:

  • Kepala keluarga dapat menjual putra, putri, dan bawahan mereka.
  • Seorang lelaki dapat menjual istrinya atau menyewakannya.
  • Seorang pemimpin bangsa dengan kekuasaan yang dia miliki dapat menjadikan siapa saja sebagai budak. Oleh karenanya, mereka menyebut raja dengan sebutan “tuan para kaum”.
  • Di saat ada dua kelompok kaum yang berperang, pihak yang menang dan menaklukkan musuhnya dalam keadaan hidup, dapat menjadikannya sebagai budak atau membunuhnya, dan dapat juga membebaskannya.

Dalam perbudakan, kecuali model keempat, Islam menolak tiga bentuk perbudakan di atas. Islam membatasi wewenang orang tua terhadap anaknya sehingga tidak menjadikannya sebagai budak. Begitu pula Islam membatasi wewenang seorang lelaki terhadap istrinya. Dengan tegas Islam telah mencerabut tiga model perbudakan di atas sampai akar-akarnya.

Adapun model keempat, Islam mengakuinya dan tak seorang pun yang tidak dapat melakukannya, karena Islam adalah agama fitri, dan hal ini tidak bertentangan dengan hukum fitrah. Tak seorang manusia pun rela tinggal diam melihat musuh-musuhnya berbuat dan berusaha menghapus nama serta kehormatannya dari lembaran kehidupan. Tak satupun manusia rela hidupnya direnggut orang lain. Seandainya ia berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, tak mungkin ia akan merasa puas dengan kemenangan tersebut lalu membiarkan musuh-musuhnya pergi dan kembali menyerang di kemudian hari tanpa harus mengurung dan menawan mereka. Manusia akan rela membiarkan musuhnya pergi dan memaafkannya jika memang ia perlu memaafkannya. Jika tidak, maka sampai kapanpun inilah hukum fitrah manusia.

Adapun pernyataan Anda bahwa perbudakan sangat tidak diterima akal sehat, sebenarnya bukan semua model perbudakan tidak dapat diterima akal sehat. Hanya tiga model pertama perbudakan yang tidak dapat diterima akal sehat. Adapun perbudakan model keempat, akal tidak menolaknya.

Sedangkan pernyataan Anda bahwa kini pikiran manusia yang sudah berkembang telah menolak perbudakan, makna pernyataan ini — meskipun Anda tidak berniat untuk menyatakannya — adalah bahwa dunia Barat telah menolak pengekangan kebebasan sebagaimana delapan puluh tahun yang lalu mereka pernah mendeklarasikan penghapusan perbudakan. Dengan cara ini mereka mengira bahwa diri mereka telah menyapu bersih buruknya perbudakan dari umat manusia dan memberikan hak-hak manusiawi kepada seluruh penghuni dunia, termasuk kepada umat Islam yang agama mereka justru telah memperbolehkan perbudakan. Tapi kita pun perlu mencermati komitmen mereka dan sejauh manakah mereka telah menjalankan kebijakan anti perbudakan itu.

Ya, mereka (orang-orang Barat) telah melarang model pertama perbudakan, yakni jual beli anak dan wanita yang telah merajalela di negara-negara Afrika dan sekitarnya. Padahal dua belas abad sebelumnya, Islam telah melarang hal ini. Tapi apakah mereka juga melarang perbudakan model ketiga yang telah dilarang oleh Islam? Dan apakah ratusan juta rakyat di negara-negara Asia, Afrika dan benua lainnya yang pernah berada di bawah penjajahan mereka selama ratusan tahun itu bukan budak-budak mereka? Memang mereka tidak menyebut semua ini sebagai perbudakan. Tapi, perlakuan yang pernah dilakukan seorang tuan terhadap budaknya waktu itu juga mereka lakukan terhadap jutaan orang!

Ya, memang pasca Perang Dunia Kedua, beberapa negara berkembang telah memberikan kebebasan kepada negara-negara yang pernah mereka jajah dengan alasan mereka sudah mengalami kemajuan politik. Tapi pertanyaan saya, bukankah pemberian kebebasan ini adalah sebuah alasan yang menunjukkan bahwa kebebasan, menurut mereka, hanyalah milik pribadi diri mereka? Dengan demikian, mereka telah berpikiran bahwa orang-orang yang menurut mereka buas dan terbelakang sama sekali tidak memiliki hak kebebasan. Yakni mereka berkeyakinan bahwa orang-orang terbelakang adalah budak bagi orang-orang maju seperti mereka.

Lagi pula kita cukup tahu betapa arti kebebasan dan apa makna pamaksaan. Meskipun mereka tidak menyebut perbuatan yang mereka lakukan sebagai perbudakan, kita dapat memahami apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan. Fakta perbuatan mereka yang bernama perbudakan, meski dibasuh dengan air tujuh samudra, tidak akan pernah pudar dari kesaksian mata umat manusia.

Begitu juga perbudakan model keempat yang juga pernah mereka lakukan. Dengan menengok kembali sejarah Perang Dunia Kedua, kita akan memahami bagaimana kelakuan mereka yang sebenarnya.

Setelah negara musuh yang sudah tak berdaya itu terkalahkan, negara-negara sekutu memasuki negara itu lalu mengangkut apa saja yang berguna bagi mereka. Mereka akan menahan dan membunuh setiap kali menemukan orang yang dicurigai dan berbahaya. Selama mereka membutuhkan, mereka berusaha menguasai dan mengatur negara tersebut. Sampai saat ini pun, yakni meski dua puluh tahun telah berlalu dari peristiwa itu, kita masih belum melihat tanda-tanda kebebasan yang sepenuhnya. Sampai saat ini juga persoalan Jerman Timur masih tak terselesaikan. Sampai detik ini juga sebagian besar ilmuan asal Jerman masih tinggal di Rusia. Negara-negara sekutu tak hanya melakukan pengekangan ini terhadap warga yang sudah besar dan kuat dari negara-negara musuh, tetapi bahkan mereka melakukan hal yang sama terhadap anak-anak kecil yang tak bisa apa-apa. Setiap bayi yang dilahirkan di sana tidak terbebas dari perbudakan mereka. Semuanya mereka jadikan budak. Tak sekalipun mereka lalu berpikiran bahwa dosa perang adalah dosa orang tua; maka anak-anak tidak boleh kena getahnya.

Satu-satunya alasan negara-negara sekutu itu adalah bahwa dengan perlakuan itu, mereka dapat mempertahankan hidup dan menjaga keselamatan mereka. Mereka bisa-bisa saja melepaskan musuh dan membebaskannya, tapi mereka tak ingin generasi penerus musuh melakukan hal yang sama terhadap mereka dan menapaki jejak generasi sebelumnya.

Ini adalah sebuah alasan yang selalu dipertahankan oleh orang-orang yang memenangkan peperangan untuk mengekang kebebasan semua lawan yang telah mereka kalahkan. Inilah alasan mereka di masa lalu, saat ini, bahkan di masa yang akan datang. Karena menurut mereka, musuh-musuh tidak boleh dibiarkan hidup bebas dan bergerak seenaknya.

Kini mari kita menengok Islam kembali. Perlakuan wajar yang mereka ambil terhadap para tawanan perang juga diakui oleh Islam. Hanya bedanya, Islam melarang perlakuan yang kasar, penyiksaan, dan cara-cara kekerasan lainnya; tidak seperti mereka yang selalu menghalalkan kekerasan.

Jika orang-orang Islam menjadikan orang kafir yang ditawan sebagai budak, dan tidak memandang usainya masa-masa perbudakan sebagai sebab kemerdekaan mereka dari perbudakan, dan jika Islam menganggap anak-anak kaum budak — anak-anak yang sampai saat ini masih melakukan apa yang selalu dilakukan nenek moyangnya — sama seperti orang tuanya, maka hal ini tak jauh dari kebenaran dan kenyataan. Justru Islam telah memberikan kebebasan yang cukup dan sangat mengusahakan kesejahteraan hidup mereka.