Jumat, Mei 3

Apakah manusia sudah tidak membutuhkan wahyu?

Tanya: Kalau saja ada sebuah pertanyaan seperti ini: jika semua maujud membutuhkan penyempurnaan diri, maka mengapa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Aku adalah akhir para nabi.”? barangkali ada orang yang menjawabnya seperti ini: di saat kita mendengar Nabi Muhammad Saw bersabda, “Aku adalah akhir para nabi.” bukan berarti beliau hendak mengatakan, “Segala yang telah aku bawa cukup bagi kalian sampai hari kiamat kelak.” Tapi sebenarnya maksud perkataan beliau tentang keberadaannya sebagai akhir para nabi adalah: selama ini, manusia perlu diberi petunjuk melalui wahyu-wahyu langit dan membutuhkan hal-hal yang berada di luar jangkauan akal mereka. Tapi sekarang, abad ketujuh Masehi, setelah datangnya peradaban Yunani dan Romawi, peradaban Islam dan Al-Qur’an, Injil dan Taurat, umat manusia telah melewati masa-masa yang mana mereka telah dididik dengan wahyu dan pendidikan Ilahi yang turun dari langit. Sebatas yang dibutuhkan, manusia telah diberi hidayah melalui wahyu Ilahi dan terdidik dengannya. Karena manusia telah terdidik sedemikian rupa, maka mulai saat ini dan sampai akhir zaman, manusia sudah tidak lagi membutuhkan wahyu dan datangnya nabi baru. Kini umat manusia sudah mampu untuk berdiri di atas kedua kakinya lalu melanjutkan hidupnya serta menyempurnakannya.

Dengan demikian, masa kenabian telah usai. Kini kalian sendiri yang harus berjalan kaki! Nabi berkata bahwa mulai saat ini, kalian telah terdidik. Kalian telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan, dan kalian telah memahami di manakah kebahagiaan hakiki kalian dan bagaimana cara mencapainya. Kalian bisa dan kalian sudah mengerti. Kalian telah mencapai suatu tingkatan kesempurnaan yang mana wahyu tidak perlu lagi menggandeng tangan kalian untuk menjalani hidup. Mulai saat ini, akal menempati kedudukan wahyu!

Lalu pertanyaan yang kemudian muncul ialah: apakah jawaban di atas ini memang benar?

Jawab: Jawaban dan penjelasan di atas adalah bahwa manusia, sama seperti semua makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya, berada di dalam jalur penyempurnaan diri. Oleh karena itu, umat manusia hari demi hari dengan pergantian zaman dan kondisi hidup, selalu menemukan suasana baru dalam hidupnya. Keberadaan umat manusia dalam kondisi baru menuntut adanya ajaran dan didikan yang baru pula. Oleh karena itu, setiap tahap penyempurnaan dirinya membutuhkan metode hidup atau — dengan kata lain — tugas-tugas dan hukum-hukum agamawi yang baru dan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pendidikan di tingkatan tersebut. Dengan demikian, kita tidak bisa beranggapan bahwa sebuah agama atau sebuah metode menjalani hidup dapat diamalkan untuk selamanya.

Begitulah agama suci ini, Islam. Islam adalah agama suci dan petujuk jalan hidup bagi umat manusia. Akan tetapi agama ini bukan agama abadi! Maka, makna keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai akhir para nabi ketika beliau berkata, “Aku adalah akhir para nabi.” adalah demikian: selama ini, lantaran manusia masih lemah dalam menggunakan akal dan pikirannya, maka ia membutuhkan wahyu sebagai petunjuk. Tapi sekarang, yakni abad ketujuh Masehi, setelah datangnya peradaban Yunani dan Romawi, peradaban Islam dan setelah turunnya kitab-kitab langit seperti Taurat, Injil, dan Al -Qur’an, manusia sudah mencapai suatu batas kesempurnaan dimana sudah tidak perlu lagi untuk dididik dengan wahyu. Umat manusia telah mampu berdiri sendiri di atas kedua kakinya tanpa harus dibantu dengan tongkat wahyu. Oleh karena itu, kenabian dan jalan diterimanya wahyu telah tertutup. Umat manusia dengan bantuan akalnya mampu melanjutkan hidupnya dan sudah tidak lagi memerlukan wahyu dan kenabian.

Ini adalah inti jawaban yang telah diberikan di atas. Harus kami katakan bahwa penafsiran ini memiliki beberapa kekeliruan:

Pertama, tidak diragukan lagi bahwa manusia berada dalam jalur penyempurnaan diri, juga tidak dapat diragukan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas dan penyempurnaan dirinya — dari segi kualitas dan kuantitas — juga terbatas. Janganlah kita mengira bahwa kesempurnaan manusia tidak terbatas dan semakin manusia sempurna maka semakin tak terbayang martabatnya. Perlu diketahui bahwa penyempurnaan diri yang dialami oleh manusia pada akhirnya akan berhenti pada suatu titik tertentu. Dengan demikian, pola hidup manusia dan hukum-hukumnya di alam kehidupan duniawi ini, adalah pola hidup dan hukum-hukum yang tetap dan tak berubah. Begitu pula, keberadaan manusia sebagai maujud yang berada di jalur penyempurnaan diri justru merupakan sebuah dalil yang menetapkan keberadaan agama abadi yang tetap; bukannya dalil yang membatilan adanya agama yang abadi dan tetap.

Kedua, menyebut peradaban Yunani dan Romawi sebagai pencapaian yang luar biasa dan sebagai ajaran Ilahi yang turun dari langit adalah keteledoran besar. Karena jelas sekali hal itu berlawanan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang kandungannya adalah hujatan terhadap tradisi mereka. Al-Qur’an menyebut tradisi mereka sebagai jalan kesesatan dan kebinasaan. Meskipun amal perbuatan mereka sepertinya adalah amal yang baik, akan tetapi sebenarnya amal-amal itu akan fana dan tak bermanfaat bagi para pelakunya. Dan sebuah jalan yang sudah terbukti menyesatkan dan tak berguna tak akan pernah membantu manusia dalam mencapai kebahagiaan hakikinya dan tidak akan dapat mengantarkan manusia menuju tujuan-tujuan utamanya (banyak sekali ayat-ayat seperti ini yang mana saya rasa tidak perlu disebutkan).

Kesalahan ketiga, pernyataan bahwa akal manusia telah sempurna sejak abad ketujuh masehi — di saat Nabi Muhammad Saw diutus pada abad itu — sampai selanjutnya dan syariat dari langit tidak lagi dibutuhkan, apakah ini tidak bertentangan dengan diturunkannya syariat langit yang baru (Islam) dan seruan kepadanya?! Terlebih syariat itu, menurut Al-Qur’an, adalah syariat yang mencakup ajaran segenap syariat langit yang pernah turun sebelumnya, sebagaimana Allah Swt telah berfirman:

“Allah telah menjadikan agama ini sebagai syariat yang mana sebelumnya pernah diperintahkan kepada Nuh, dan hal-hal yang telah kami wahyukan kepadamu juga pernah kami wahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa …”[1]

Syariat itu agama yang mana Allah telah menyebutnya dengan Islam dan diungkapkan sebagai syariat Ibrahim. Allah juga menegaskan bahwa Dia tidak akan menerima agama siapapun kecuali Islam dan tak seorang pun berhak untuk berpaling dari agama ini. Allah Swt berfirman:

“Sesungguhnya agama (yang diterima) di sisi Allah adalah Islam.”[2]

“Dan barang siapa memilih agama selain Islam, maka tiak akan diterima darinya.”[3]

“… ikutilah agama bapak kalian, Ibrahim. Allah menamai kalian dalam kitab-kitab sebelumnya dan dalam kitab ini sebagai Muslim …”[4]

“Dan tidak patut bagi seorang mukmin dan mukminah untuk memilih-milih ketika Allah dan rasul-Nya memerintahkan sesuatu …”[5]

Kita tidak bisa mengatakan bahwa agama Islam hanya diturunkan untuk Nabi Muhammad Saw sedangkan orang-orang yang lain bebas memilih jalan agamawi mereka. Jika kita berpendapat seperti ini, lalu apa maksud seruan-seruan Allah Swt dalam Al-Qur’an seperti: “Wahai umat manusia!”, “Wahai orang-orang yang beriman!”, dan seruan serupa lainnya? Lalu apa arti harapan yang telah diberikan kepada para pengikut kebenaran?

Kita juga tidak dapat menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw—yang risalah Islam telah diturunkan kepadanya—hanya mengajukan agamanya sebagai tawaran kepada umat manusia agar memeluk Islam. Jadi, maksud ayat “… melainkan utusan Allah dan penutup para nabi …”[6] tentu bukanlah demikian: “Kalian wahai manusia! Setelah ini kalian akan bebas untuk mengikuti syariat langit yang telah diturunkan. Pilihlah agama kalian dengan akal kalian yang telah sempurna lalu jalankanlah hukum-hukumnya! Aku (nabi Islam) menawarkan agama ini (Islam) kepada kalian. Maka nilailah agama ini dengan akal kalian! Jika menurut kalian benar, maka terima dan amalkanlah ajaran-ajarannya.” Jika maksudnya memang demikian, maka pada hakikatnya Islam tak beda dengan sistem demokrasi yang hukum-hukum di dalamnya telah diproduksi dari kehendak mayoritas.

Mari kita lihat kenyataan yang ada; kapankah Rasulullah Saw pernah bermusyawarah dengan para sahabat dalam mengeluarkan hukum-hukum syariat seperti: shalat, puasa, zakat, haji, jihad, dan lain sebagainya? Apakah Rasulullah Saw harus menunggu disetujuinya hukum-hukum syariat terlebih dahulu sebelum menjalankannya? Hal ini sangat konyol dan tidak dapat kita temukan di buku-buku sejarah dan sirah manapun.

Ya, terkadang Rasulullah bermusyawarah dalam menentukan cara pelaksaan suatu hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara sosial sebagaimana dalam perang Uhud. Pada waktu itu, Rasulullah bermusyawarah tentang apakah Muslimin harus berada di dalam ataukah di luar kota.

Kita tidak dapat berpendapat bahwa makna ayat “… melainkan utusan Allah dan penutup para nabi …”[7] adalah demikian: “Agama yang dibawa oleh Rasulullah adalah agama yang benar yang harus kalian terima. Akan tetapi karena beliau adalah nabi terakhir, jika kelak ada beberapa perkara agamawi yang tidak sesuai dengan kemaslahatan zaman dan bertentangan dengannya, maka gunakanlah akal kalian untuk mengubah perkara tersebut menjadi sesuatu yang baru dan sesuai dengan kondisi hidup kalian lalu letakkanlah hal tersebut di posisi perkara yang lama.”

Jika kita berpendapat seperti itu, maka ini sama saja kita berpendapat bahwa syariat Islam yang telah diturunkan dari langit itu tidak berbeda dengan hukum-hukum sosial biasa; yang akan mengalami perubahan dengan bergantinya zaman dan berubahnya tuntutan zaman. Para khalifah di permulaan zaman Islam juga berpikiran seperti ini. Mereka telah melarang atau mengubah sekian perkara yang sering dilakukan di saat Rasulullah Saw hidup. Salah satu contohnya adalah pelarangan terhadap penulisan hadis Nabi, padahal dengan penjelasannya kita mampu memahami sirah dan perilaku Nabi Muhammad Saw. Dengan alasan menjaga Al-Qur’an dari kesalahan penulisan, mereka melarang penulisan hadis dan hanya mewajibkan Muslimin untuk menulis Al-Qur’an.

Berubahnya hukum dan hukum-hukum agama karena berubahnya zaman, meski disepakati oleh para pemikir dan ulama Ahlu Sunnah, tapi sayangnya bertentangan dengan ajaran Islam dan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an. Islam dan hukum-hukumnya tidak akan pernah mengalami perubahan. Sebagaimana yang telah dijelaskan Al-Qur’an bahwa secara fitri, manusia menyadari bahwa kebenaran harus diikuti. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa kebenaran memang harus diikuti dan segala yang berlawanan dengan kebenaran adalah kesesatan. Allah Swt berfirman:

“… dan apa-apa yang ada setelah kebenaran, adalah kesesatan …”[8]

Al-Qur’an adalah kitab suci yang mengajak umat manusia melangkah menuju kebenaran. Tak ada kebatilan sedikit pun yang telah menodai kitab ilahi ini. Allah Swt berfirman:

“… dan sesungguhnya itu adalah kitab yang mulia yang tidak ada didalamnya kebatilan sedikitpun …”[9]

Dengan jelas kita dapat memahami bahwa kitab yang di dalamnya tidak terdapat kebatilan, bagaimana mungkin dapat diubah? Bahkan lebih jelasnya lagi, Al-Qur’an telah menerangkan bahwa membuat hukum dan syariat adalah hak Tuhan. Tak ada satu pun makluk yang berhak untuk ikut campur dalam hak ini. Sebagaimana yang pernah difirmankan:

“Sesungguhnya hukum adalah milik Allah.”[10]

Allah juga berfirman:

… jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka keputusannya terserah pada Allah.”[11]

Jika hanya Allah Swt yang memiliki wewenang atas pembuatan hukum-hukum agama, lalu bagaimana kita bisa membayangkan manusia hanya dengan modal akal yang dimilikinya dapat mengubah hukum-hukum langit atau bahkan tidak lagi butuh kepadanya!

Ya, dalam agama Islam memang ada beberapa hukum yang dapat diubah dan diganti dengan hukum yang baru. Akan tetapi, hanya Wali Amr (pemimpin dalam pemerintahan islami) yang berhak membuat, mengganti atau merubahnya. Tentunya itu atas dasar kemaslahatan dan tuntutan zaman serta tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Penjelasannya, keberadaan seorang Wali Amr di tengah-tengah masyarakat muslim bagaikan seorang kepala keluarga di tengah-tengah anggota keluarganya. Seorang kepala keluarga berhak melakukan apa saja jika menurutnya hal itu memang perlu dilakukan di dalam rumahnya. Ia berhak memerintahkan anggota keluarganya untuk melakukan sesuatu jika memang hal itu bermanfaat. Ia juga berhak membela kehormatan keluarganya ketika ada yang menghinakannya. Semuanya dapat ia lakukan di rumahnya selama tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agamanya. Meskipun berada di dalam rumah sendiri, ia tidak berhak melakukan sesuatu yang dilarang oleh agama atau memerintahkan salah satu anggota keluarganya untuk melakukan perbuatan haram.

Seorang Wali Amr juga demikian. Sekiranya perlu, ia berhak mengeluarkan perintah untuk berjihad demi membela kehormatan Islam. Jika tidak, ia berhak mengambil keputusan untuk berdamai dengan pemerintahan lain. Ia berhak menentukan biaya pajak yang harus dibayar oleh rakyat. Ia berhak melakukan segalanya dengan syarat tidak berlawanan dengan hukum-hukum agama dan sesuai dengan kemaslahatan bersama. Dengan demikian, disaat kebutuhan telah terpenuhi dan kemaslahatan dijalankannya suatu hukum yang telah ia ciptakan sudah tidak lagi ada, maka dengan sendirinya hukum tersebut akan terhapus.

Kesimpulannya, Islam memiliki dua macam hukum: hukum-hukum tetap dan hukum-hukum yang dapat diubah. Hukum-hukum tetap itulah yang disebut dengan syariat langit. Sebagaimana Allah pernah berfirman:

“Dan kami telah memberikan kitab langit, kekuasaan, dan kenabian kepada Bani Isra’il… kemudian kami telah menempatkan kalian di jalan syariat yang benar. Ikutilah syariat itu dan jangan kalian ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak tahu. Mereka tidak akan membuat kalian  kecukupan di hadapan Tuhan kalian (dan menyelamatkan kalian dari azab-Nya). Dan orang-orang yang zalim saling membantu satu sama lain. Adapun Tuhan akan membantu orang-orang yang bertakwa.”[12]

Hukum-hukum seperti ini yang disebut dengan syariat. Dan hukum-hukum yang dibuat oleh Wali Amr untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim adalah hukum-hukum yang dapat diubah. Dengan terpenuhinya kebutuhan masyarakat, maka hukum-hukum tersebut tidak perlu lagi dijalankan.

[1] QS. Asy-Syura: 13.

[2] QS. Al Imran: 19.

[3] QS. Al Imran: 85.

[4] QS. Al-Hajj: 78.

[5] QS. Al-Ahzab: 36.

[6] QS. Al-Ahzab: 40.

[7] QS. Al-Ahzab: 40.

[8] QS. Yunus: 32.

[9] QS. Al-Fushilat: 41– 42.

[10] QS. Yusuf: 40.

[11] QS. Asy-Syura: 10.

[12] QS. Al-Jatsiyah: 16 – 19.