Jumat, Januari 24

Bukankah keyakinan Syiah tentang Bada’ membuktikan mereka yakin para Imam lebih tinggi dari Tuhan

Bada’ termasuk kepercayan dan akidah Syiah, padahal di sisi lain mereka meyakini para Imam mengetahui ilmu ghaib. Apakah para Imam lebih tinggi dari Tuhan?

Jawaban:

Pertanyaan di atas diutarakan berdasarkan sebuah kitab yang ditulis oleh Syaikh Nashir Qafari, yang termasuk sekongkol Salafi.

Kitab tulisan Syaikh Qafari penuh dengan tuduhan yang tidak berdalil terhadap Syiah, yang tentunya ia belajar dari gurunya, Ibnu Taimiyah. Pantas di dalam penuh dengan tuduhan yang tidak masuk akal. Sebagai contoh saya jelaskan beberapa di antaranya; Ia menulis, “Di Iran Imam Khumaini menambahkan namanya sebelum dua syahadat dalam adzan.”[1]

Saya heran mengapa penanya hanya membaca buku orang seperti ini.

Penanya bertanya tentang bada’, lalu berkata bahwa Syiah meyakini bada’; kemudian secara mengherankan ia menyimpulkan bahwa Syiah menganggap para Imamnya lebih tinggi dari Tuhan. Nalar apakah yang telah digunakannya hingga berdalih seperti ini?

Saya akan menjelaskan kedua masalah di atas:

Pertama, bada’ yakni seorang manusia merubah nasib baiknya karena telah melakukan perbuatan buruk. Begitu juga, manusia dapat merubah nasib buruknya dengan melakukan amal perbuatan baik. Allah swt berfirman: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).”[2]

Seorang ahli hadits besar dari kalangan Ahlu Sunah, Jalaluddin Suyuthi dalam kitabnya Ad Durr Al Mantsur, dalam menafsirkan ayat tersebut membawakan beberapa riwayat dari nabi yang intinya manusia dapat merubah sebagian dari nasib yang telah ditakdirkan Tuhan dengan melakukan amal perbuatan baik, misalnya berbuat baik kepada orang tua, atau bersedekah, dan lain sebagainya. Misalnya salah satu hadits yang ia bawakan seperti “Sedekah dapat menolak bala’.”[3]

Bada’ dengan pengertian seperti ini dapat diterima oleh semua Muslimin. Bada’ bukan berarti Tuhan tidak tahu akan takdir hambanya. Sebagai contoh, kaum nabi Yunus telah ditakdirkan untuk menerima adzab karena pertentangannya. Nabi mereka telah memberitahukan mereka bahwa Tuhan hendak mengadzab mereka, beliau pun pergi meninggalkan kawasan yang mereka tinggali itu dan menjauhinya. Namun ternyata mereka menyesal, mereka mendengar perkataan seseorang lalu mereka bersama-sama pergi gurun dan meratapi dosa mereka serta maningisinya. Allah swt menerima taubat mereka dan akhirnya Ia tidak menurunkan siksaan-Nya. Kisah ini disebutkan dalam ayat yang berbunyi:

“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.”[4]

Mengenai peristiwa tersebut dapat dikatakan bahwa Tuhan pada mulanya hendak menurunkan adzab kepada umatnya. Namun terjadi bada’ dan Tuhan tidak jadi menurunkan siksaan. Ungkapan ini hanya berlaku bagi manusia sendiri, bukan bagi Tuhan; yakni, dari sudut pandang manusia Tuhan tidak jadi menurunkan siksaan-Nya karena umatnya telah bertaubat; namun dari sudut pandang Tuhan, Ia sejak awal sudah tahu bahwa mereka akan bertaubat. Lalu mengapa kita menggunakan istilah bada’? Alasannya karena nabi dulu pernah menggunakan istilah tersebut, dan Bukhari pernah menukilnya dalam Shahih nya.[5]

Ada satu hal menarik, Wahabi sendiri dalam membahas “bertawasul kepada amal saleh” mereka menukilkan hadits bada’. Rasulullah saw bersabda:

“Ada tiga orang yang lari ke goa karena menghindar dari hujan. Tiba-tiba jatuh reruntuhan batu yang akhirnya menutup pintu goa. Mereka saling berbicara satu sama lain dan berkata, “Sungguh demi Tuhan, tidak akan ada yang bisa menyelamatkan kalian selain kejujuran. Siapapun di antara kalian yang pernah melakukan amal kebaikan, maka mintalah kepada tuhan untuk menyelamatkan kita dari kematian atas kehormatan amal tersebut.”…”

Bada’ tidak dapat diartikan sebagai kebodohan Tuhan. Karena Tuhan Maha Suci dari sifat yang sedemikian. Kita sebagai manusia yang memiliki sudut pandang terbatas melihat seolah fenomena yang sudah ditakdirkan Tuhan berubah-ubah. Saat dikatakan “terjadi bada’ bagi Tuhan”, itu hanyalah ungkapan emosional saja, tidak bisa dikaitkan secara hakiki dengan ilmu yang Tuhan miliki. Karena Tuhan sejak semulanya mengetahui segala sesuatu dengan perubahan-perubahan yang akan terjadi; kita yang tidak tahu.

Oleh karena itu, bada’ tidak bertentangan dengan ke-Maha Tau-an Tuhan.

Jadi, jika kami meyakini bahwa Imam-Imam maksum memiliki ilmu ghaib, itu bukan berarti mereka lebih tinggi dari Tuhan; ilmu mereka adalah ilmu yang diberikan Tuhan, itupun terbatas; sedangkan ilmu sebenarnya yang dimiliki Tuhan tidaklah terbatas. Ilmu para Imam adalah karunia, sedang ilmu Tuhan adalah ilmu dari dzat-Nya sendiri.

[1] Ushul Madzah Asy Syiah, jilid 3, halaman 154.

[2] Ar-Ra’d, ayat 39.

[3] Ad Durr Al Mantsur, jilid 6, halaman 661.

[4] Yunus, ayat 98.

[5] Shahih Al Bukhari, jilid 4, halaman 172, Kitab Ahadits Al Anbiya’, hadits nomor 3465, dan Kitab Al Buyu’, hadits nomor 2215.