Jumat, Mei 3

Setelah Imam Ali as menjadi khalifah, mengapa…?

Setelah Ali bin Abi Thalib mencapai kekuasaan, mengapa:

1. Berkata bahwa sebaik-baik umat setelah nabinya adalah Abu Bakar dan Umar.

2. Tidak meramaikan sunah nikah Mut’ah.

3. Tidak mengambil tanah Fadak.

4. Tidak menambahkan “mari bergegas pada sebaik-baiknya amal” (hayya ala khairil amal) pada adzan.

5. Tidak menghapuskan “shalat lebih baik daripada tidur” (asshalatu khairun minan naum) dari adzan.

6. Tidak menunjukkan Qur’an yang lain kepada masyarakat.

Jawaban:

Hendaknya saya bertanya pula mengenai bagaimana anda bisa mengatakan 6 hal di atas? Coba buktikan  terlebih dahulu kebenaran keenam hal di atas. Apakah dengan menyebutkan syubhat-syubhat tidak terbukti seperti di atas anda yakin dapat meyesatkan orang-orang Syiah (agar berpaling dari mazhabnya)?

Pertama:

Hadits yang berisi ucapan Imam Ali mengenai dua khalifah di atas adalah hadits palsu. Bukan hanya hadits itu saja yang termasuk hadits palsu yang diaku sebagai ucapan Ali bin Abi Thalib. Ada sekitar 36 hadits palsu sejenis hadits di atas mengenai keutamaan para khalifah yang mana kepalsuan hadits-hadits tersebut benar-benar dapat dirasakan dengan jelas. Untuk membaca lebih lanjut mengenai hal itu silahkan anda merujuk pada kitab Al Ghadir.[1]

Dari membaca hadits-hadits semacam itu, terasa seakan para pemalsu hadits terlalu berlebihan sehingga tergambar di benak kita bahwa Ali tidak memiliki pekerjaan lain selain memuji para khalifah. Jika memang Ali seperti itu mengagungkan para khalifah, lalu mengapa ia mengundur bai’atnya hingga enam bulan? Mengapa perempuan terbaik sedunia, yakni Fathimah Az Zahra tidak membai’at khalifah pertama dan tidak mau berbicara dengannya hingga mati sedang ia dalam keadaan marah dan tidak ridha terhadapnya?

Mengapa kita harus memaksakan diri menerima hadits palsu tersebut sedang kita harus melupakan khutbah Gharra’ yang mana para ulama telah membuktikan keshaihhannya? Yang mana beliau berkata:

“Demi Tuhan, Abu Bakar telah mengenakan pakaian kekhilafahan di tubuhnya. Sedangkan ia tahu dengan baik bahwa aku bagi pemerintahan Islami ini bagaikan poros bagi roda penggiling gandum.”[2]

Apa yang harus kita perbuat dengan ucapan Ali bin Abi Thalib yang lain seperti:

“Mereka menduduki kursi kekhilafahan begitu saja sedangkan aku disingkirkan darinya padahal aku memiliki hubungan yang paling dekat dengan Rasulullah.”[3]

Kedua:

Kurasa cukup kita mendengar ucapan Ali bin Abi Thalib mengenai nikah Mut’ah dan celaan beliau terhadap pelarangan Umar atasnya:

“Jika Umar tidak melarang Mut’ah, tidak akan ada orang yang berzina kecuali benar-benar orang yang celaka.”[4]

Salah satu hal yang paling jelas dalam sejarah bahwa para sahabat menekankan kehalalan nikah Mut’ah. Bahkan menurut apa yang ditukil oleh Dzahabi pun demikian.[5]

            Ketiga:

Mengenai tanah Fadak, tepatnya mengapa ia tidak mengambilnya, alasannya jelas; karena jika Ali bin Abi Thalib berusaha merebut kembali tanah Fadak di saat ia berkuasa, ia pasti dituduh sebagai pecinta dunia oleh kaki tangan khulafa sebelumnya. Beliau dalam suratnya yang ditujukan kepada Utsman bin Hanif menulis:

“Ya, di muka bumi ini waktu itu hanya Fadak yang tersisa untuk kami. Namun para penghasud merebutnya dan orang lain berlaga dermawan dengan membagikannya. Tuhan adalah sebaik-baik hakim. Apa urusanku kini dengan Fadak atau selainnya? Sedangkan tempat tinggal setiap orang di hari esok adalah kuburannya, yang mana dalam kegelapan kubur itu ia tidak lagi bisa merasakan kekayaannya dan semua orang melupakannya.”[6]

Penanya sepertinya belum pernah membaca sejarah tanah Fadak. Sepanjang masa kekhilafahan para Khulafa Rasyidin hingga era pemerintahan Ma’mun tanah Fadak telah berpindah tangan berkali-kali dan ujungnya dikembalikan kepada Ma’mun.

Untuk menyingkat tulisan ini, bagi yang ingin membaca lebih jauh mengenai tanah Fadak, silahkan merujuk kitab Furugh Al Wilayah.

Keempat:

Mengenai kalimat hayya ala khairil amal (mari kita bergegas pada sebaik-baiknya amal), saya pikir cukup saya isyarahkan pada perkataan salah satu teolog Asy’ari:

“Khalifah kedua naik ke atas mimbar dan berkata, “Aku mengharamkan tiga hal atas kalian. Siapapun yang melanggar akan mendapatkan hukuman keras: Nikah Mut’ah, Haji Tamattu’, dan Hayya ala khairil amal.”[7]

Halabi menulis:  “Ibnu Umar dan Imam Zainal Abidin menambahkan hayya ala khairil amal dalam adzan setelah hayya alal falah.”[8]

Sepanjang sejarah, menyebut hayya ala khairil amal dalam adzan merupakan simbol keSyiahan.

Abu Al Faraj Al Isfahani (356-284) menulis: “Ketika salah satu dari para Hasani memimpin di Madinah, Abdullah bin Hasan Afthas naik ke atas menara masjid dan memberi perintah kepada muadzin untuk menambahkan hayya ala khairil amal pada adzannya.”[9]

Adapun mengapa Ali bin Abi Thalib tidak menyemarakkan kebiasaan dalam beradzan itu, jawabannya jelas; karena ia di era pemerintahannya berhadapan dengan tiga kelomok: para pengingkar janji, kaum zalim, dan kaum khawarij.[10] Kondisi yang beliau alami lain sehingga hanya itu yang dapat beliau lakukan. Namun terbukti pada saat-saat tertentu beliau juga sering mencela bid’ah-bid’ah yang diciptakan oleh khalifah-khalifah sebelumnya. Salah satu bid’ah tersebut adalah shalat Terawih; yakni melakukan shalat Nafilah (shalat sunah) bulan Ramadhan dengan cara berjama’ah yang merupakan bid’ah khalifah kedua. Karena di zaman nabi sama sekali shalat nafilah Ramadhan tidak dilakukan seperti ini di masjid-masjid.[11]

Ketika Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah, penduduk Kufah memohon kepada beliau untuk menentukan Imam jama’ah shalat Terawih untuk mereka. Beliau menolak permintaan tersebut karena itu adalah bid’ah. Lalu sikapnya ditanggapi sebagai bentuk kebencian dan perlawanannya terhadap para khalifah sebelum. Selang beberapa saat terdengar teriakan di masjid-masjid “Wahai Umar… (sunahmu telah diinjak-injak-pent.)” Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku tidak mau menunjuk seorang Imam jama’ah, kalian sendiri silahkan tunjuk.”[12]

Menakjubkan sekali bahwa Umar bin Khattab menyebut bid’ah ini sebagai bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Apakah bid’ah dalam agama bisa disebut baik?

Sesungguhnya shalat nafilah bulan Ramadhan hendaknya dikerjakan sendiri-sendiri di rumah, bukan di masjid secara berjama’ah. Kita cukup dengan membaca hadits yang diriwayatkan dalah Shahih Muslim, yang mana Rasulullah Saw bersabda:

“Bagi kalian untuk shalat di rumah-rumah kalian. Karena sebaik-baiknya shalat adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib (shalat lima kali sehari, yang mana sangat dianjurkan untuk dikerjakan di masjid-pent.)”[13]

Untuk membaca lebih jauh silahkan anda merujuk pada kitab Al Inshaf fi Masailin Damin Fiha Al Ikhtilaf.[14]

Kelima:

Kalimat asshalatu khairun minan naum (shalat lebih baik daripada tidur) dalam adzan, menurut sebagian para muhaqiq (ahli tahqiq) adalah kalimat yang ditambahkan sendiri oleh Umar secara pribadi. Imam Malik dalam Al Muwatha’ berkata: “Muadzin Umar datang untuk mengajak Umar bin Khattab shalat. Saat itu Umar sedang tidur. Muadzin membangunkannya dengan berkata “Shalat lebih baik daripada tidur.” Umar senang dengan perkataan itu dan berkata pada muadzinnya untuk menambahkan kalimat tersebut dalam adzan Subuh.” [15]

Dalam kitab Al Inshaf disebutkan bahwa menambahkan kalimat tersebut telah menjadi kebiasaan umum.[16] Di sini saya terpaksa harus menjelaskan satu masalah mengenai adzan. Sesungguhnya setiap penggal dari kalimat-kalimat yang dikumandangkan dalam adzan merupakan syi’ar-syi’ar yang mengajak manusia untuk mengenal makrifat luhur Ilahi atau mengajak untuk menunaikan kewajiban-kewajiban penting agama. Kalimat “mari kita bergegas pada sebaik-baiknya amal” yang merupakan bagian dari adzan menjelaskan pada kita bahwa shalat adalah amal yang paling baik. Sedemikian dalam makna kalimat itu. Namun kalimat “shalat lebih baik dari tidur”, tidak lebih dari mengutamakan shalat dari tidur; dengan sedemikian dangkalnya makna yang dimiliki. Kalimat kedua hanya berguna untuk menurunkan arti dan nilai shalat.

Lebih dari itu, di manakah anda dapat menemukan orang berakal yang ragu dalam hatinya apakah shalat lebih baik dari tidur atau tidak? Apakah perlu kita naik ke atas menara dan meneriakkan bahwa shalat lebih baik dari tidur?

Keenam:

            Mengapa Ali bin Abi Thalib tidak menunjukkan Al Qur’an lain saat ia menjadi khalifah?

Pertanyaan ini hanya menunjukkan kebodohan si penanya. Al Qur’an yang sampai saat ini ada di tangan kita semua adalah Qur’an yang pernah dibacakan oleh Ali! Karena ‘Ashim dengan melalui satu perantara orang telah mempelajari Qira’ah (pembacaan) Qur’an dari Ali bin Abi Thalib.

Ya, dalam sebagian riwayat memang disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib pernah menyusun Al Qur’an sesuai dengan urutan turunnya ayat dan surat; yang mana sama sekali tidak ada bedanya dengan Qur’an yang ada selain susunan urutannya saja!

[1] Al Ghadir, jilid 8, halaman 62054; Tadzkiratul Huffadz, jilid 1, halaman 77.

[2] Nahj Al Balaghah, khutbah ketiga; Syarah Nahj Al Balaghah, jilid 1, halaman 205.

[3] Nahj Al Balaghah, 162.

[4] Tafsir Thabari, jilid 5, halaman 9; Ad Durr Al Mantsur, jilid 2, halaman 140.

[5] Shahih Musliam, jilid 4, halaman 131, bab Nikah Mut’ah; Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 2, halaman 95 dan jilid 4, halaman 436; Mizan Al I’tidal, jilid 2.

[6] Nahj Al Balaghah, surat ke 45.

[7] Syarah Tajrid Ghoushchi, halaman 484.

[8] Sirah Al Halabi, halaman 305.

[9] Maqatil Ath Thalibin, halaman 277.

[10] Nakitsin, Mariqin, dan Khawarij.

[11] Fath Al Bari Bisharhi Shahih Al Bukhari, jilid 4, halaman 250, hadits 2009 dan 2010.

[12] Tahdzib, jilid 3, bab Keutamaan Bulan Ramadhan, hadits 30; Al Kafi, jilid 4, halaman 154.

[13] Fath Al Bari, jilid 4, halaman 250, hadits 2010.

[14] Al Inshaf, halaman 383-422.

[15] Muwatha’, halaman 78, nomor 8.

[16] Al Inshaf, jilid 1, halaman 151-162.