Senin, Desember 9

Mengapa Syiah melukai diri saat berduka?

Dalam riwayat-riwayat Syiah disebutkan bahwa kita harus bersabar dalam musibah. Kita tidak boleh melakukan hal-hal yang tidak menunjukkan kesabaran seperti memukul-mukul diri sendiri. Namun mengapa Syiah tidak mengamalkan riwayat-riwayat tersebut dalam hari-hari berduka?

Jawaban:

Perlu dibedakan antara menangis dan bersedih karena kehilangan orang yang dicintai dengan menyobek-nyobek pakaian dan mencakar muka.

Manusia yang normal, secara naluriah pasti bersedih jika ditinggal orang yang dicintai. Begitu pula para nabi dan sahabat-sahabatnya. Rasulullah Saw saat kehilangan putranya yang bernama Ibrahim berkata, “Mata ini menangis. Air mata bertumpahan. Hati terbakar.”[1]

Di perang Uhud saat Hamzah paman nabi gugur. Shafiyah putri Abdul Muthallib berlari menuju Rasulullah Saw untuk mengabarinya. Sedang jenazah Hamzah dikerumuni oleh orang-orang Anshar. Rasulullah menyuruh mereka untuk minggir. Shafiyah duduk di dekat Hamzah dan menangis. Setiap kali tangisan Shafiyah mengencang, tangisan Rasulullah Saw pun juga bertambah kencang. Setiap kali tangisan Shafiyah berhenti, Rasulullah Saw juga berhenti menangis. Fathimah Az Zahra juga ikut menangis. Kemudian Rasulullah Saw berkata kepada putrinya, “Tidak aka ada orang yang akan mengalami musibah seberat yang akan kau alami nanti.”[2]

Sepeninggal ayahnya, Fathimah Az Zahra selalu menangis dan berkata, “Hai ayahku, engkau telah dekat dengan Tuhanmu dan engkau telah jawab panggilan-Nya. Kini engkau telah berada di surga.”[3]

Sepanjang sejarah Islam dikenal bahwa tangisan terhadap orang yang telah meninggal dunia adalah wajar. Bahkan banyak sekali bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) juga menangisi kerabat kecintaan mereka yang telah pergi.

‘Aisyah berkata, “Setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, aku meletakkan kepalanya di atas bantal. Aku berdiri dan bersama wanita-wanita lain memukul kepala dan wajah kami.”[4]

Tak ada yang bisa mengingkari bahwa menangis dalam keadaan sedemikian rupa adalah hal yang alami dan naluriah.

Sejarah mencatat bahwa perempuan-perempuan Anshar berkumpul beruduka dan menangisi suami mereka yang telah meninggal dalam perang Uhud. Lalu Rasulullah Saw meminta mereka agar berkabung pula terhadap pamannya, Hamzah, sebagaimana mereka menangisi keluarga sendiri.[5]

Ketika Rasulullah Saw menangisi kematian salah satu putrinya, Ubadah bin Shamit bertanya mengapa beliau menangis. Beliau menjawab, “Tangisan adalah rahmat (kasih sayang) yang telah dicurahkan oleh Allah Swt dalam hati umat manusia. Sungguh Tuhan kelak akan melebihi rahmat-Nya kepada hamba-hambanya yang berkasih sayang.”[6]

Adapun berkenaan dengan orang-orang yang memiliki kedudukan utama dalam agama, saat kehilangan ia, tidak hanya kita harus menangis, bahkan lebih. Berkabung untuk mereka memiliki arti yang lebih luas. Misalnya, membela dan mengajak kepada jalan mereka.

Mereka adalah pejuang Muslim yang sebenarnya. Mereka mati karena perlawanan mereka terhadap khulafa zalim Bani Umayah dan Bani Abbasiah. Hai’at dan perkumpulan-perkumpulan yang bertugas menciptakan suasana berkabung di hari kepergian mereka berperan dalam menghidupkan ajaran-ajaran Ahlul Bait. Segala yang mereka lakukan seperti memukul dada serta keluar ke jalanan tidak lain untuk terus menghidupkan pemikiran-pemikiran junjungan mereka; bahwa “Kematian berdarah lebih baik daripada kehidupan penuh hina.”

Dalam dunia akhlak pun kita fahami bahwa tangisan adalah lawan dari kekeras hatian. Itulah mengapa tangisan adalah rahmat. Tidak seperti orang yang keras hati; tidak dapat menerima pengaruh positif dari orang lain juga tidak mengasihi selainnya.

Acara-acara yang diadakan dalam memperingati hari-hari berkabung Ahlul Bait tidak hanya tak dilarang, bahkan terpuji. Karena segalanya bertujuan untuk menjaga hidupnya ajaran suci Itrah nabi.

Sebenarnya pun, acara-acara duka Syiah di hari Asyura memilki sisi politik juga. Agar keburukan Bani Umayah dan ketersiksaan keluarga nabi tetap terus teringat hingga hari akhir nanti.

Memang diakui, bahwa banyak juga golongan-golongan yang berlebihan dalam Syiah. Namun, tidak ada satu ulama pun yang membenarkan mereka. Perbuatan mereka jelas haram. Oleh karenanya kita harus bedakan mana ajaran dan mana pengikut ajaran itu.

[1] Majma’ Az Zawaid, jilid 3, halaman 8.

[2] Amta’ Al Asma’, halaman 154.

[3] Shahih Bukhari, bab “Sakitnya Nabi dan Wafatnya”; Musnad Abi Dawud, jilid 2, halaman 197; Sunan Nasa’i, jilid 4, halaman 13; Mustadrak Al Hakim, jilid 3, halaman 163; Tarikh Al Khatib, jilid 3, halaman 262.

[4] Tarikh Thabari, jilid 2, halaman 441.

[5] Majma’ Az Zawaid, jilid 6, halaman 120.

[6] Sunan Abi Dawud, jilid 2, halaman 58; Sunan Ibnu Majah, Jilid 1, halaman 481.