Jumat, Januari 24

Penyakit kronis dan tekanan jiwa

Penyakit, dari segi parahnya dan lamanya diderita, berada pada urutan pertama di antara faktor-faktor tekanan jiwa.[1] Kecacatan dan tekanan jiwa dapat menyebabkan tekanan jiwa dalam kadar yang tinggi dan bahkan dapat mengalahkan kesabaran orang yang paling sabar sekalipun.

Para penderita penyakit kronis tentu berusaha sekuat tenaganya dan menghabiskan waktu dan upaya agar dapat hidup seperti orang sehat biasa. Namun gangguan yang diakibatkan penyakit mereka tak jarang membuat diri mereka tersingkirkan dan terasing dari aktifitas sosial dan hubungannya dengan kerabat-kerabatnya pun juga terganggu, dan bahkan sampai-sampai mereka sama sekali tidak bisa berhubungan dengan orang lain. Dalam kondisi ini, biasanya sebagian dari anggota keluarga semakin dekat dengan penderita dan sebagian yang lain merasa keberadaan penderita adalah sumber kesusahan yang memberatkan bagi keluarga.[2]

Contoh penyakit kronis yang dikisahkan dalam Al Qur’an adalah penyakit yang diderita oleh nabi Ayub as. Dalam buku ini kita akan membahas sepenggal dari kisah tersebut yang sekiranya berhubungan dengan pembahasan kali ini. Oleh karena itu kita hanya akan membahas tekanan-tekanan jiwa yang disebabkan penyakit nabi Ayub as. terhadap dirinya, keluarganya, istri dan kerabatnya serta bagaimana dampaknya bagi hubungan beliau dengan sesamanya. Beliau adalah seorang nabi keturunan nabi Ibrahim as.[3] Kisahnya yang diceritakan dalam Al Qur’an adalah sebagai berikut:

“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-Nya: “Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan.” (Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuh untuk mandi dan untuk minum. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).”[4]

Imam Ja’far Shadiq as. menjelaskan sebab kesengsaraan nabi Ayyub as. dan berkata:

“Nabi Ayub as. mengalami kesengsaraan seperti itu bukanlah karena ia telah mengkufuri nikmat, bahkan karena ia telah mensyukuri nikmat Allah. Karena sebelumnya syaitan berkata keada Allah swt.: “Engkau melihat Ayyub sebagai hamba yang selalu bersyukur karena Engkau telah memberikan banyak nikmat kepadanya. Jika Engkau mencabut nikmat-nikmat-Mu darinya, maka pasti akan terbukti bahwa ia bukanlah hamba yang bersyukur.” Lalu untuk membuktikan kepada syaitan bahwa nabi Ayub as. benar-benar hamba yang bersyukur, Ia mencabut nikmat-nikmat-Nya. Ia mencabut nikmat anak-anak darinya, dan ia tetap bersyukur. Lalu Ia mencobanya dengan sakit selama bertahun-tahun, sakit parah yang membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya tidur di ranjangnya, namun kesabarannya tak pernah berkurang. Kemudian syaitan dengan bentuk rahib mendatangi rahib-rahib bani Israil dan bersama-sama mereka mendatangi nabi Ayub as. Mereka berkata kepadanya: “Dosa apa yang telah engkau lakukan sehingga engkau mendapat bala seperti ini?” Nabi Ayub as. berkata: “Demi Allah aku tidak berbuat dosa; aku selalu berada dalam keadaan taat kepada-Nya dan saat aku makan selalu ada anak-anak yatim dan orang miskin yang makan bersamaku.” Nabi Ayub as. juga bersabar akan tuduhan-tuduhan. Kemudian Allah swt. mengembalikan nikmat-nikmat-Nya kepadanya dan penyakit-penyakitnya disembuhkan dengan perantara sebuah mata air. Lalu supaya tidak melanggar janjinya dan sekaligus istrinya tidak tersakiti, Allah memeberikan jalan dengan cara mempergunakan seikat rumput dan biji-biji gandum.”

Dari kisah nabi Ayub di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa penyakit kronis terkadang membawakan keterasingan dari masyarakat, terkadang juga cela dan hinaan sesama, dan bahkan kebencian orang yang terdekat sekalipun. Satu-satunya jalan mengatasi penyakit kronis adalah bersabar. Karena betapa penyakit-penyakit berat yang diderita oleh hamba yang beriman merupakan bentuk kasih sayang dan ujian dari Allah swt.[5] Berdasarkan yang diriwatkan dari Imam Shadiq as., para nabi lebih banyak merasakan kesusahan dalam hidup dari pada manusia-manusia biasa, lalu kemudian para pengikutnya juga mendapatkan ujian-ujian yang kadarnya sedikit di bawah para nabi sesuai dengan karakter dan kepribadian mereka.[6] Lebih dari itu, kita pun tahu bahwa kesembuhan hanya dari Allah swt. Oleh karena itu kesabaran perlu ditampakkan, siapa tahu kesembuhan nabi Ayub as. juga akan kita dapatkan nantinya.

[1] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 160.

[2] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 1, halaman 698 – 701.

[3] Al An’am, ayat 84 – 90; An Nisa’, ayat 163.

[4] Shaad, ayat 44.

[5] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 17, halaman 216 – 308; Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 19, halaman 292 – 305, dan jilid 12, halaman 429 – 481.

[6] Safinatul Bihar, Syaikh Abbas Qumi, jilid 1, halaman 105: “Sesungguhnya orang yang paling kerap mendapatkan kesengsaraan sebagai ujian adalah para nabi, kemudian orang-orang yang beriman sesuai dengan derajatnya masing-masing.”