Abraham Maslow berkata:
“Setelah kebutuhan fisiologi dan keamanan telah terpenuhi, muncullah rasa butuh akan cinta dan kasih sayang. Pada kondisi ini, manusia akan merasakan haus hubungan emosional dengan sesamanya dan lupa bahwa dahulu kala saat ia belum memenuhi kebutuhan fisiologinya, misalnya saat lapar, pernah menertawakan dan meremehkan rasa butuh akan cinta. Namun kini ia tertekan karena merasa kesepian, asing, tidak punya teman. Cinta dan kasih sayang di sini bukan bermakna gairah seksual, meskipun ada pengaruhnya pada kebutuhan seksual. Dari sisi lain, kebutuhan akan cinta juga meliputi “mencintai” dan “dicintai”.[1]
Banyak sekali bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara depresi dengan relasi sosial. Karena saat berada di tengah-tengah sesama seorang manusia akan mendapatkan kesempatan untuk memperhatikan masalah-masalah orang lain. Dalam kondisi kebersamaan seorang manusia akan membandingkan dirinya dengan orang lain sehingga ia dapat mengambil kesimpulan seberapa harus merasakan ketakutan.[2]
Dalam ajaran Islam, dikenal bahwa dasar agama adalah kecintaan. Imam Muhammad Baqir as. berkata:
“Apakah agama adalah sesuatu selain cinta?”[3]
“Agama adalah kecintaan, dan kecintaan adalah agama.”[4]
Poin penting yang juga ditekankan dalam ayat-ayat dan riwayat adalah, pentingnya ikatan antara bergabung dan diterima. Cinta tidak bersifat searah, karena orang yang mencintai adalah orang yang melakukan apa yang diinginkan orang yang dicinta; lalu karena itulah orang yang dicintai tersebut mencintainya. Pada dasarnya cinta akan membuat seorang manusia bergerak menuju yang dicintai dan melakukan apapun yang diinginkan kecintaannya. Semakin tinggi cinta seseorang, maka semakin tinggi pula kadar jerih payah dan usaha yang dilakukannya untuk orang yang dicintai; khususnya jika motifasinya adalah kesempurnaan mahbub (yang dicintai).
Imam Baqir as. berkata:
“Manusia (cenderung) bersama orang yang ia cintai.”[5]
Dalam Al Qur’an disebutkan firman Allah kepada orang-orang yang mengaku mencintai Tuhan seperti ini:
“Jika kalian memang mencintai Allah, maka bergegaslah untuk menaati-Nya. Jika demikian maka Tuhan juga akan mencintai kalian.”[6]
Imam Shadiq as. berkata:
“Ujilah hatimu, jika ia mencintaimu, kamu pasti akan mencintainya juga.”[7]
Ayat-ayat seperti “Ia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya”[8] dan “Allah ridha akan mereka dan mereka juga ridha akan Allah.”[9] membukitkan adanya sifat dua arah dalam cinta kepada Allah swt. Al Qur’an juga memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mencintai Ahlul Bait as.:
“Katakanlah bahwa aku tidak meminta upah apapun dari kalian selain kecintaan terhadap keluargaku.”[10]
Sebaik-baiknya contoh tentang tekanan jiwa karena keterasingan dalam Al Qur’an, adalah kisah saudara-saudara nabi Yusuf as. Ketika mereka merasa ayahnya lebih menyukai nabi Yusuf as. dan saudaranya Benyamin,[11] mereka berencana untuk membunuh Yusuf as. saudara mereka sendiri. Dengan demikian mereka menjadi perusak ketentraman keluarga Ya’qub as. Cinta dapat diibaratkan sebagai perekat yang kuat yang membuat umat manusia saling terikat antara satu sama lain. Tanpa adanya cinta masyarakat akan berpecah belah dan hanya mementingkan dirinya masing-masing. Namun dengan cinta semuanya saling berpegangan tangan dan bekerja sama.[12]
Dalam Al Qur’an Allah swt memberikan berita gembira-Nya kepada orang-orang yang beriman seperti ini: “Mereka yang memiliki iman dan melakukan amal saleh, Allah akan menciptakan kecintaan di hati setiap orang kepada mereka.”[13] Disebutkan juga nabi Ibrahim as. memohon kepada Allah swt. agar setiap orang mencintai anak-anaknya:
“Ya Tuhan, jadikanlah hati-hati setiap orang cinta dan cenderung pada mereka (anak-anakku).”[14]
Ketika nabi Musa as. mendengar putri-putri Syu’aib as. berkata bahwa ayah mereka telah tua dan tidak memiliki siapa-siapa, hatinya luluh dan terarik untuk berbuat baik pada mereka, ia memberi minuma kepada kambing-kambing mereka.[15] Al Qur’an memberikan contoh yang paling mulia akan cinta: “Saat Ahlul Bait sedang dalam keadaan puasa dan merasakan lapar, mereka memberikan makanan buka puasanya kepada anak yatim, orang miskin dan hamba yang tertawan.”[16] Meskipun diri mereka juga dalam keadaan butuh, seperti Anshar, mereka mendahulukan Muhajirin atas dirinya.[17] Sunah para utusan Allah swt. dan wali-wali-Nya adalah saling mencintai dan berbagi hati kepada sesama.
“Dan aku menginginkan kebaikan untuk kalian.”[18]
Alferd Adore menyebut perasaan pada sesama sebagai “cara pandang saudara besar” dan berkata:
“Umat manusia, selain memiliki amarah dan kebencian, mereka juga memiliki perasaan saling berdukacita yang dalam dan berbagi kepada sesamanya. Oleh karena itu mereka memiliki kecenerungan khas terhadap sesama seakan setiap orang dari meraka adalah satu anggota badan bagi satu tubuh yang disebut masyarakat.”[19]
Islam bertujuan untuk memberikan kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat manusia dengan prinsip kecintaan dan pemenuhan kebutuhan; yang mana itu sendiri merupakan tanda legalitas hubungan sosial. Prinsip kecintaan dan pemenuhan kebutuhan ini benar-benar bertentangan dengan permusuhan dan iri dengki. Islam menganggap persahabatan dan kebersamaan dengan cara menunjukkan kecintaan sebagai jalan pemenuhan kebutuhan tersebut. Menyatakan kesukaan adalah deklarasi cinta. Seseorang berkata pada Imam Shadiq as. bahwa ia mencintai sahabatnya. Lalu beliau berkata kepadanya:
“Maka nyatakanlah rasa cintamu itu, karena itu akan membuat cintamu lebih dalam dan tertanam kuat.”[20]
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak mencintai seseorang dan tidak dicintai.”[21]
Imam Ali as. juga berkata:
“Hati setiap lelaki begitu liar, barang siapa dapat menjinakkannya, maka ia akan menjadi sahabatnya.”[22]
Riwayat di atas menunjukkan kepada kita bagaimana cara menarik kecintaan seseorang. Islam mengajarkan kita untuk berlomba-lomba mengucapkan salam dan menunjukkan kecintaan sebagai bukti bahwa Islam sangat mementingkan kecintaan terhadap sesama. Al Qur’an menyebutkan bahwa salah satu sifat Rasulullah saw. yang dikenal adalah pecinta umat dan penyeru kebaikan bagi mereka.[23] Mengenai beliau Al Qur’an bercerita:
“Kerepotan-kerepotan yang kalian berikan kepadanya begitu berat tapi ia bersikeras untuk memberi petunjuk kepada kalian.”[24]
Dalam ayat lainnya juga disebutkan:
“Seakan-akan engkau (wahai Rasulullah) seperti orang yang dicabut nyawanya saat mereka tidak mau beriman.”[25]
Salah satu perkara yang penting dalam suatu masyarakat adalah keseimbangan emosional. Setiap orang membutuhkan kasih sayang dan perasaan sesamanya. Karena itulah Islam juga sangat menekankan silaturrahmi. Dalam kumpulan kalimat-kalimat pendeknya Imam Ali as. berkata: “Kehilangan kawan-kawan yang dicintai adalah keterasingan.”[26] Namun perlu diingatkan juga bahwa motivasi di balik cinta dan persahabatan orang yang beriman adalah keridhaan Ilahi. Mereka membenci dan mencintai karen kecintaan terhadap Tuhan mereka.
[1] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 79 – 81.
[2] Anggizesh va Hayajan, Murray, halaman 190 – 196; Ravan Shenashi Anggizesh va Hayajan, Muhyiddin Mahdi Benab, halaman 49 – 53.
[3] Al Kafi, Muhammad Ya’qub Kulaini, jilid 8, halaman 79.
[4] Tafsir Nur At Tsaqalain, Ali ibn Jum’ah Arusi Huwaizi, jilid 5, halaman 83 dan 84.
[5] Safinatul Bihar, Syaikh Abbas Qumi, jilid 1, halaman 201.
[6] Ali Imran, ayat 31.
[7] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 74, halaman 182 dan jilid 46, halaman 291.
[8] Al Maidah, ayat 54.
[9] Al Mujadalah, ayat 22.
[10] As Syura, ayat 23.
[11] Yusuf, ayat 8
[12] Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 16, halaman 392.
[13] Maryam as., ayat 96.
[14] Ibrahim, ayat 37.
[15] Al Qashash, ayat 23 dan 24.
[16] Al Insan, ayat 8.
[17] Al Hasyr, ayat 9.
[18] Al A’raf, ayat 62.
[19] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 31.
[20] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 74, halaman 181..
[21] Ibid, jilid 75, halaman 265, jilid 74, halaman 393, dan jilid 77, halaman 149.
[22] Nahjul Balaghah, hikmah 50.
[23] Al A’raf, ayat 89: “Dan aku menasehati kalian, namun kalian tidak menyukai para pemberi nasehat.”
[24]At Taubah, ayat 128.
[25] As Syu’ara, ayat 3.
[26] Nahjul Balaghah, kalimat-kalimat pendek, nomor 65.