Senin, Desember 9

Keyakinan agama dan tekanan jiwa

Keyakian dan kepercayaan agama memiliki peranan penting dalam mengurangi tekanan jiwa. Sebagian dari jalan keluar permasalahan yang ditawarkan oleh kepercayaan dan keyakinan agama tersebut adalah:

A. Tekanan tanggung jawab dan kewajiban

Berdasarkan ajaran agama, manusia bertanggung jawab atas amal perbuatannya. Imam Ali as. berkata:

“Kalian semua bertanggung jawab dan akan ditanya meski tentang apa yang kalian lakukan terhadap tanah dan hewan-hewan ternak.”[1]

Namun tanggung jawab setiap orang tidaklah sama. Karena ada beberapa tanggung jawab yang berat, seperti risalah kenabian:

“Kami akan menimpakan kepadamu perkataan (tanggung jawab) yang berat.”[2]

Allamah Thabathabai dalam penafsiran ayat ini menjelaskan:

“Perkataan yang berat yang dimaksud dalam ayat itu adalah perkataan yang susah dimengerti dan diterima oleh manusia, atau suatu amal dan tugas yang berat untuk dikerjakan. Al Qur’an adalah berat dalam kedua makna di atas; beratnya Al Qur’an dari segi perkataan adalah karena ia diturunkan dari sisi Allah yang memiliki dhahir dan batin yang tidak akan dapat dimengerti kecuali oleh orang-orang yang tersucikan. Dari segi amal dan tugas, jelas sekali Al Qur’an juga berat. Betapa banyak derita, kesusahan, hijrah, peperangan dan segala kesusahan lainnya yang harus ditanggung oleh Rasulullah saw. hanya untuk menjalankan ayat-ayatnya. Jelas sekali beban seperti ini tidak mungkin bisa ditanggung oleh orang-orang munafik dan mereka yang hatinya sakit.[3] Terkadang tanggung jawab yang berat seperti ini tidak dapat ditanggung oleh seorang manusia dengan sendirinya, seperti risalah nabi Musa as. yang mana untuk menanggungnya beliau memohon kepada Allah swt. untuk menjadikan nabi Harun as. sebagai pembantunya.”[4]

Salah satu tanggung jawab dan tugas yang memicu tekanan jiwa adalah memberikan hidayah kepada umat manusia. Nabi adalah orang yang bersedia untuk meneguk cawan ujian dan kepedihan cobaan. Tugas mereka adalah tugas yang tidak dapat diemban orang biasa. Al Marhum Thabrasi dalam Majma’ul Bayan menukil sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Surah Hud adalah surah yang membuatku menjadi tua (merasa berat) karena di dalamnya ada ayat yang berbunyi: “Bersabar dan bertahanlah sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu dan orang-orang yang sabar bersamamu.”[5] Rasa tersebut berakar pada tidak sabarnya umat Rasulullah saw.

Khusus bagi orang-orang yang spesial bagi Allah swt., Ia memberikan tugas dan tanggung jawab yang berat. Nabi Ibrahim as. mencapai kedudukan tertingginya setelah melewati berbagai ujian dan cobaan. Ujian-ujian tersebut diantaranya adalah: merobohkan berhala, dibakar di dalam api, meninggalkan istri muda dan anaknya di padang tandus Makkah serta membawa anaknya, Ismail as. ke tempat penyembelihan.[6]

Contoh lainnya adalah tugas berjihad melawan kaum kafir. Al Qur’an menggambarkan keadaan Muslimin di perang Ahzab:

“Dan ingatlah ketika mereka datang pada kalian dari arah atas dan dari bawah, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan dan hati kalian naik menyesak sampai ketenggorokan dan kalian menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan hatinya dengan goncangan yang sangat.”[7]

B. Takut akan kematian

Kematian adalah fenomena pahit yang membawakan tekanan kejiwaan. Tekanan tersebut dikarenakan beberapa hal berikut ini:

  1. Kebanyakan kita sejak kecil melihat kematian sebagai fenomena yang penuh dengan rasa sakit, luka, dan hancurnya tubuh. Berdasarkan kaidah classical conditioning dalam ilmu psikologi, mengingat kematian membuat seseorang membayangkan bayangan-bayangan seperti ini dan membuatnya takut serta gelisah.
  2. Kematian menyebabkan perpisahan dari orang-orang yang dicintai dan luka yang tersayat karena peristiwa ini sangat sulit diobati. Oleh karena itu kematian sangat dikhawatirkan terjadi.
  3. Kita keseringan menganggap kematian sebagai kesirnaan. Hal ini bertentangan dengan naluri manusia yang terdorong untuk hidup lama dan abadi. Oleh karena itu tercipta daya tolak dalam diri manusia akan kematian.[8]

Dalam pandangan Al Qur’an, kematian adalah perkara alamiah dan umum, namun kematian itu bukanlah kesirnaan. Dalam pandangan Al Qur’an dan riwayat, kematian adalah kelahiran baru dan perpindahan alam menuju alam lain.[9] Imam Sajjad as. menggambarkan kematian seperti ini:

“Kematian bagi orang yang beriman adalah menanggalkan pakaian yang telah kotor dan mengenakan pakaian baru. Namun bagi orang kafir kematian adalah menanggalkan pakaian yang mewah untuk mengenakan pakaian yang kumal dan kotor.”[10]

Di hari Asyura, Imam Husain as. berkata kepada para sahabatnya:

“Kematian hanya sebuah jemkbatan yang akan menghantarkan kalian dari kesusahan dan penderitaan (menuju taman-taman indah di sorga).”

Beliau juga menukil perkatan Rasulullah saw.:

“Dunia adalah penjara bagi orang yang beriman dan sorga bagi orang kafir. Kematian adalah jembatan bagi mereka menuju taman-taman sorga dan bagi orang kafir adalah jembatan menuju neraka.”[11]

Di hadapan kematian, manusia terbagi menjadi beberapa kelompok:

  1. Orang-orang yang lari dan takut

Orang-orang yang mengingkari adanya hari kebangkitan berada pada kelompok ini. Saat kematian tiba menghampiri mereka, mata sebagian dari mereka terbuka lebar,[12] mereka baru menyadari hakikat yang sebenarnya lalu mereka memohon kepada Tuhan agar mereka dikembalikan ke dunia, barangkali ia dapat memperbaiki amal perbuatannya, namun permintaanmereka tidak dikabulkan.[13]

  1. Orang-orang beriman yang memiliki amal buruk

Mereka adalah orang yang beriman namun mereka sedikit melakukan amal kebajikan dan tidak mementingkan bekal perjalanan untuk akherat mereka. Karena amal perbuatan buruk itu, mereka berhadapan dengan sakaratul maut. Al Qur’an menyebut tekanan jiwa yang disebabkan oleh rasa takut akan kematian dengan sebutan ghamaratul maut[14] dan sakaratul maut.[15] Dalam keadaan ini seorang manusia seperti orang yang sedang mabuk. Imam Shadiq as. menjelaskan sakaratul maut dalam sebuah riwayat:

“Ikatan antar ruh dan badan yang telah berlangsung dengan lama membuat manusia luar biasa kesakitan dan menderita saat ruh tersebut dicabut dari badannya.”[16]

Imam Ali as. juga pernah menggambarkan bagaimana sakaratul maut:

Sakaratul maut menyerang mereka bersamaan dengan rasa sayang mereka karena harus meninggalkan segala yang pernah dimiliki. Anggota tubuh mereka menjadi lemah dan lemas, wajah mereka pucat. Sedikit demi sedikit kematian merenggut nyawa mereka, mereka tidak dapat menggerakan lidahnya. Meski ia berada di tengah-tengah keluarga sendiri, meski matanya melihat, telinganya mendengar, dan pikiran yang sadar, ia tidak mampu berbicara. Saat itu juga ia merenungi untuk apa sajakah ia telah menghabiskan umurnya dan bagiamana ia telah menjalani hari-harinya.”[17]

Al Qur’an menjelaskan keadaan mereka saat malaikat maut sedang mencabut nyawa:

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat…”[18]

Dan keluarganya bertanya siapakah yang bisa menyelamatkan orang sakit ini dari kematian? Sedang ia yakin kematian akan merenggutnya. Lalu bedempetan betis kiri dan kanannya karena dahsyatnya sakaratul maut dan kesedihan karena harus berpisa dari dunia.[19]

Ketika ruh telah sampai pada kerongkongan, semua orang yang ada di sekitarnya gelisah dan ketakutan dan bingung mencari jalan kesembuhan untuknya. Namun siapa kah yang dapat menyelamatkan seseorang dari maut? Pada saati itulah harapan untuk hidup menjadi sirna.

  1. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh

Mereka menghadapi maut dengan penuh ketenangan (nafs muthmainnah) dan dalam keadaan rela dan diridhai (radhiyatan mardhiya)[20] menghadap ke hadirat Allah swt. Kematian orang yang beriman dan beramal saleh begitu indah, pada detik-detik itu para nabi dan imam serta wali-wali Allah swt. berziarah dan berkumpul di sekitarnya.[21]

[1] Nahjul Balaghah, khutbah 166.

[2] Al Muzammil, ayat 5.

[3] Al Insyirah, ayat 1 – 3: “Bukankah Kami telah memberikan kelapangan pada dadamu? Dan Kami turunkan bebanmu? Yang telah memberati punggungmu…”

[4] As Syu’ara, ayat 13: “Hatiku telah menyempit dan lisanku menjadi tak jelas, maka utuslah (Jibril) kepada Harun.”

[5] Tafsir Majma’ul Bayan, Abu Ali Fadhl bin Hasan Thabrasi, tafsir ayat 122 surah Hud.

[6] Al Baqarah, ayat 124 – 138; Ibrahim, ayat 37; Shaffat, ayat 102 – 107.

[7] Al Ahzab, ayat 10 – 11.

[8] Islam va Ravanshenashi, Mahmud Bustani, jilid 2, halaman 774.

[9] Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 22, halaman 261.

[10] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 6, halaman 155.

[11] Ma’anil Akhbar, Syaih Shaduq, halaman 289.

[12] Qaaf, ayat 19: “Ya, itulah kematian yang kamu takut sekali dan selalu lari darinya.”

[13] Al Mu’minun, ayat 99 – 100: “Ia berkata, “Tuhan kembalikanlah aku ke alam dunia sehingga aku bisa melakukan amal saleh untuk mengganti yang pernah aku tinggalkan.” Tidak, sesungguhnya ucapan itu hanya sekedar di lidah saja.”

[14] Al An’am, ayat 93.

[15] Qaaf, ayat 19.

[16] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 6, halaman 158.

[17] Nahjul Balaghah, khutbah 109.

[18] Al Waqi’ah, ayat 83 – 84.

[19] Al Qiyamah, ayat 26 – 29.

[20] Al Fajr, ayat 17 – 30.

[21] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 6, halaman 173.