Jenis kepribadian seseorang juga memiliki peranan dalam stres. Karena setiap orang akan menghadapi tekanan jiwa yang dialaminya sesuai dengan karakternya masing-masing. Dalam Al Qur’an disebutkan:
“Katakanlah bahwa tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya (prilaku dan kepribadiannya).”[1]
Kejiwaan seseorang dan kebiasaan-kebiasaan yang memiliki membuat setiap orang terikat pada suatu koridor yang disebut syakilah. Imam Ja’far Shadiq as. menafsirkan syakilah sebagai niat seseorang[2] yang menggambarkan kejiwaan dan kepribadian orang tersebut. Beberapa faktor pemacu stres yang berkaitan dengan karakter dan kepribadian seseorang adalah:
A. Pribadi tipe A dan tipe B
Pada sebagian orang, tipe kepribadian jenis A, yakni penyakit suka terburu-buru, dapat memacu stres dan tekanan jiwa. Dua orang ahli jantung yang bernama Friedman dan Rey Rezman, pada tahun 1974, berhasil menjelaskan adanya keterikatan antara tipe kepribadian seseorang dengan penyakit kejiwaan yang diakibatkan stres. Berdasarkan penelitian-penelitian mereka, orang-orang berusia 39 hingga 49 tahun yang memiliki kepribadian tipe A enam kali lipat lebih rentan terserang penyakit daripada mereka yang memilki pribadi tipe B. Kriteria-kriteria orang memiliki pribadi tipe A adalah:
- Merasa waktu yang dimilikinya sangat sedikit: dengan tergesa-gesa berusaha sekuat tenanga untuk mengerjakan banyak pekerjaan dalam waktu yang amat singkat.
- Agresif dan mudah marah: mereka sangat kompetitif, tidak pernah tenang, dan sangat menikmati aktifitas-aktifitas yang menyibukkan mereka. Api kemarahan dan emosi mereka mudah berkobar hanya dikarenakan masalah kecil.
- Sibuk dengan dua pekerjaan atau lebih dalam satu waktu secara tidak tepat.
- Mengejar tujuan tanpa perencanaan dan program yang benar: memutuskan segala sesuatu tidak berdasarkan perhitungan dan mudah menyatakan batas akhir waktu kerja tanpa melihat situasi dan kondisi.
Adapun pribadi tipe B, adalah kebalikan dari tipe A. Mereka selalu tenang dan jarang tergesa-gesa. Memiliki kecenderungan bersaing yang lebih rendah. Mereka lebih memahami nilai dan harga diri sendiri, melakukan segala pekerjaannya dengan perhitungan, perencanaan dan program yang benar.[3]
Akhir-akhirn ini banyak peneliti yang berkeyakinan bahwa orang yang hanya sekedar memiliki pribadi tipe A tanpa memiliki faktor-faktor buruk yang lain tidak akan menyebabkan permasalahan apa-apa.[4]
Al Qur’an memuji orang-orang yang bergegas melakukan amal baik dengan segera dan menyebut sifat tersebut sebagai sifat orang-orang yang saleh dan suci.[5] Dalam agama Islam, persaingan yang sehat adalah sifat mulia dan berharga dan menyebut as sabiqun (orang-orang yang terdahulu) dari Muhajirin dan Anshar yang termasuk al awwalun (lebih awal masuk Islam)[6] dengan sebutan muqarrabin (orang-orang yang dekat).[7] Persaingan dapat dikatakan sehat ketika syarat-syaratnya terpenuhi, dan jika tidak, persaingan seperti itu akan membawakan tekanan jiwa dan stress yang tak dapat dihindari. Sebagian dari syarat-syarat tersebut adalah:
- Kesiapan
Buah dapat dipetik jika sudah saatnya. Kalau buah dipetik sebelum atau setelah waktu yang seharusnya, pasti akan menghasilkan kerugian. Realita ini harus difahami dan diterapkan pada segenap aspek kehidupan kita. Rasulullah saw. menerangkan aturan-aturan Allah kepada umatnya secara bertahap dan beliau selalu memperhatikan saat-saat yang tepat untuk menjalankan setiap misi dalam risalahnya. Ahlul Bait as. juga menasehati para pengikutnya untuk selalu memperhatikan prinsip yang banar dalam mengajarkan ajaran-ajaran agama kepada anak-anak mereka agar anak-anak tersebut menjadi terbiasa. Imam Shadiq as. berkata:
“Saat anak-anak kami berusia 7 tahun, kami memerintahkan mereka untuk berpuasa, namun saat tengah siang tiba, ketika mereka terlihat kelaparan dan kehausan, kami mempersilahkan mereka untuk berbuka.”[8]
- Teratur dan memilih jalan keluar yang terbaik
Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan individu maupun bersama, pasti ada jalan keluar dan penyelesaiannya. Mengenai masalah ini Al Qur’an menyebutkan:
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.”[9]
Imam Muhammad Al Baqir as. berkata mengenai penafsiran ayat ini:
“Tidak baik dalam setiap pekerjaan jika kalian masuk pada selain pintunya. Jalan yang benar harus dilewati dalam segala hal.”[10]
Oleh karena itu, dalam setiap permasalahan kita harus mengambil keputusan dan jalan keluar yang terbaik, bukan sembarangan, karena kalau tidak yang terjadi hanyala semakin runyamnya permasalahan. Untuk menemukan jalan yang terbaik dan benar, kita harus meningkatkan kemahiran dan keahlian.
- Menghindari sikap terburu-buru
Dalam Al Qur’an disebutkan:
“Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”[11]
Manusia cenderung terberu-buru dalam menggapai segala hal yang dapat menguntungkannya. Tanpa memperhatikan efek samping dan akibat perbuatan, manusia rela menjerumuskan dirinya di lubang yang dalam.
Imam Muhammad Al Baqir as. berkata:
“Kebanyakan orang telah dicelakakan oleh sifat tergesa-gesa mereka. Jika mereka selalu tenang, niscaya mereka tidak akan celaka.”[12]
Oleh karena itu, terburu-buru bukanlah jalan yang terbaik untuk mengejar sesuatu, meskipun pelakunya benar-benar faham dan mengerti apa yang sedang dilakukannya. Adapun orang yang mengejar tujuannya dengan tenang dan cermat, meskipun nampaknya tak akan membuatnya berhasil,[13] niscaya kelak akan sampai juga pada tujuannya. Rasulullah saw. bersabda:
“Perlahan (namun pasti) adalah dari Allah swt., sedang tergesa-gesa adalah dari syaitan.”[14]
“Ketergesa-gesaan akan membawakan penyesalan.”[15]
“Terburu-buru melakukan suatu pekerjaan sebelum tiba saatnya akan membawakan kesedihan.”[16]
Di sini kita dapat menambahkan ucapan suci Imam Ja’far Shadiq as.:
“Bergegas melakukan suatu pekerjaan dengan perlahan adalah keselamatan, adapun terburu-buru adalah penyesalan.”[17]
Al Qur’an telah menceritakan kisah persaingan tak sehat Habil dan Qabil. Dalam kisah tersebut, Qabil merasa iri dengan saudaranya karena amal perbuatannya tidak diterima Allah swt., oleh karenanya ia memusuhi Habil. Qabil yang seharusnya membenahi kesalahan-kesalahan yang membuat amalnya tidak diterima, justru membunuh saudaranya sendiri. Sebelum Habil dibunuh, saat ia mendengar ancaman saudaranya, ia berkata kepada Qabil:
“Sungguh jika kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu.”[18]
Dalam peperangan, Imam Ali as. juga memerintahkan para pengikutnya untuk tidak tergesa-gesa:
“Janganlah kalian memulai memerangi dan membunuh kecuali jika mereka yang memulainya terlebih dahulu.”[19]
Contoh lain persaingan yang tidak sehat dalam Al Qur’an adalah kisah Iblis. Iblis telah beribadah kepada Allah swt. selama enam ribu tahun dan berada di barisan malaikat. Namun setelah itu derajatnya diturunkan karena rasa irinya dan ucapan kesombongannya: “Engkau telah menciptakan aku dari api sedang ia dari tanah.” Iblis seharusnya menyesali perbuatannya, justru ia semakin menjadi dan meminta Allah swt. untuk diberi kesempatan hingga akhir hari kiamat untuk menggoda umat manusia dan melencengkan mereka dari jalan yang benar sebagai balas dendam.[20]
B. Pribadi yang selalu pesimis
Orang yang selalu berpandangan negatif dan pesimis, karena ia menganggap kebanyakan orang dan kehidupan ini sebagai sesuatu yang buruk, segala tekanan hidup yang ia rasakan benar-benar terasa sangat menyiksa baginya. Saat ia berhadapan dengan kesusahan, ia berputus asa; “Jika ia ditimpa kesusahan, ia beputus asa.”[21] Allah swt. berfirman:
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah berbuat keterlaluan pada dirinya sendiri agar tidak berputus asa akan rahmat-Ku.”[22]
Orang yang beriman tidak akan pernah berputus asa akan rahmat dan pertolongan Allah swt. saat mereka sedang ditimpa musibah dan kesulitan. Bahkan di saat-saat seperti itu iman mereka menjadi lebih kuat.[23] Adapun orang-orang yang imannya lemah, hanya karena kehilangan nikmat yang diberikan oleh Allah swt., mereka berputus asa dan mengkufuri.[24] Orang-orang kafir dan munafik ketika diuji oleh Allah swt. merasa ketakutan karena kekafiran dan kemunafikan diri mereka,[25] tanpa terkendali mereka berteriak-teriak dan saling menyalahkan satu sama lain, seakan-akan mereka tertimpa masalah sebesar gunung-gunung.
“Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.”[26]
Sedangkan jika seseorang berbaik sangka, maka pasti hatinya akan tenang dan agamanya akan terjaga[27] serta kesedihannya akan lenyap.[28]
Imam Ali as. berkata:
“Anggaplah apa yang telah dilakukan oleh saudara seimanmu sebagai suatu yang baik kecuali sampai terbukti bahwa itu buruk.”[29]
Beliau menjelaskan alasan mengapa beliau memberikan nasehat seperti ini:
“Orang yang selalu berburuk sangka, tidak akan ada perdamaian dan ketentraman antara dia dan teman-temannya.”[30]
“Barang siapa tidak selalu berbaik sangka, niscaya akan merasa takut pada siapa saja.”[31]
Adapun mengapa orang-orang yang pesimis akan takut pada setiap orang, Imam Ali as. menjelaskan alasannya:
“Orang yang selalu berburuk sangka pada sesamanya, tidak akan memandang orang lain sebagai orang yang baik, karena pada hakikatnya ia sedang bercermin dan melihat dirinya sendiri.”[32]
Oleh karena itulah Al Qur’an menyarankan orang-orang yang beriman untuk tidak terlalu banyak mengira dan berprasangka:
“Jauhilah kebanyakan dari sangkaan-sangkaan.”[33]
C. Waswas dan keraguan
Waswas, adalah berperasaan yang macam-macam secara tidak sadar. Orang-orang yang menderita penyakit ini, mungkin saja mereka sadar akan penyakit yang sedang diderita,[34] namun mereka tidak mampu meninggalkan kebiasan buruk tersebut. Mereka terlalu berlebihan dalam memperhatikan kebersihan diri dan segala sesuatu di sekitarnya, dan selalu waspada agar tidak ada kotoran yang menempel pada badan dan pakaian mreka. Orang-orang seperti itu meskipun kelihatannya berwibawa, tenang, tidak terlalu banyak tingkah, namun pada kenyataanya tidak begitu; dalam hatinya selalu ada sesuatu yang mengganjal dan mendesak.[35]
Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa was-was berakar pada kekuatan tak terlihat yang disebut syaitan:
“Katakanlah aku berlindung pada Allah, Tuhan manusia… dari gangguan was-was syaitan Khannas, yang selalu membisikkan keraguan dan was-was pada hati manusia, dan juga (aku berlindung pada Allah) dari gangguan jin dan manusia.”[36]
Imam Ali as. berkata tentang Khannas:
“Pekerjaan mereka adalah menyamarkan antara kebenaran dan kebatilan. Mereka menguasai para wali Allah swt. dengan cara mengambil sebagian dari kebenaran dan sebagian dari kebatilan.”[37]
Berdasarkan riwayat-riwayat Islami, kita harus berlindung pada Allah swt. agar tidak menjadi orang yang was-was. Penyakit ini, jika masih belum parah, dapat dengan mudah diobati,[38] namun jika telah parah, penyakit itu akan mengganggu ketenangan penderitanya dan menciptakan semacam kegilaan pada dirinya.
Abdullah bin Sinan, mengenai seseorang yang menderita penyakit ini berkata: “Orang ini sepertinya adalah orang yang berakal.” Lalu Imam Shadiq as. berkata:
“Akal yang mana? Sedangkan ia selalu menaati syaitan.”[39]
Riwayat di atas menunjukkan bahwa orang-orang yang menderita penyakit was-was mengalami masalah dalam berfikir dan pemahaman. Oleh karena itu mereka meninggalkan hukum-hukum syariat dan membiarkan diri sendiri terjerumus dalam kesusahan.
D. Kebimbangan dan kemunafkan (memiliki dua hati)
Ketika keraguan menimpa orang yang ingin mengambil keputusan dalam perkara penting hidupnya, seperti pernikahan, pekerjaan, jurusan kuliah, hal itu dapat membuatnya tertekan dan stres. Kebimbangan dan keraguan adalah sebab berbagai macam penyakit kejiwaan dan akarnya adalah perasaan kurang dan sifat suka mengikuti.
Masalah kebimbangan ada kaitannya dengan kemunafikan (memiliki dua hati) yang mana Al Qur’an memandang masalah ini dengan dua kedua sudut pandang di atas. Kebimbangan dan kemunafikan adalah dua fenomena yang memiliki akar berbeda, meskipun keduanya kebanyakan memiliki perwujudan yang sama dan kita dapat menggunakan ayat-ayat Qur’an tentang kemunafikan dalam pembahasan ini, karena kemunafikan, memiliki dua hati dan kebimbangan penyebabnya adalah satu: tidak sampainya seseorang kepada keyakinan. Al Qur’an menjelaskan tentang orang-orang munafik:
“Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati meeka telah hancur.”[40]
Tentang orang-orang yang tak mau berperang di perang Badar, Al Qur’an menjelaskan:
“Dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguaannya.”[41]
Manusia yang memiliki dua hati seringkali menipu Tuhannya dan beribadah dengan niat ingin mendapatkan pujian orang lain dan berdasarkan kemalasan. Orang yang memiliki dua hati, memiliki penampilan dan lidah yang baik. Namun setiap saat mereka mendengar suara apa saja, mereka mengira itu membahayakn diri mereka.[42] Saat gendering perang dibunyikan, mereka begitu ketakutan seakan mereka tak mau berada di situ. Sebabnya jelas sekali, mereka tidak memiliki sandaran ruhani yang jelas dan selalu kehilangan kontrol saat menghadapi berbagai permasalahan, seakan-akan nyawa mereka sedang dicabut.[43] Orang-orang munafik selalu membenci orang yang beriman. Ketika mereka berada bersama orang-orang yang beriman, mereka menampakkan keimanannya, namun ketika mereka telah berada dalam kesendiriannya, mereka berlawanan dengan kaum mukminin. Jika orang-orang yang beriman mendapatkan kebahagiaan, mereka menggerutu di dalam hati dan jika keburukan menimpa orang-orang yang beriman, mereka bersenang hati.[44]
[1] Al Isra’, ayat 84.
[2] Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 12, halaman 246.
[3] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 106 – 216.
[4] Ravanshenashi e Salamat, M. Robin Dimato, jilid 2, halaman 548.
[5] Ali Imran, ayat 114: “Dan mereka bergegas melakukan amal kebaikan.”
[6] At Taubah, ayat 100: “Dan orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar…”
[7] Al Waqi’ah, ayat 10: “Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga).”
[8] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, jilid 7, halaman 168.
[9] Al Baqarah, ayat 189.
[10] Tafsir Nur At Tsaqalain, Ali ibn Jum’ah Arusi Huwaizi, jilid 1, halaman 178.
[11] Al Isra’, ayat 11.
[12] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 71, halaman 340.
[13] Ghurarul Hikam wa Durarul Kalim, Abdul Wahid Amadi, kata ajl.
[14] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 71, halaman 147 dan 340
[15] Ghurarul Hikam wa Durarul Kalim, Abdul Wahid Amadi.
[16] Ibid.
[17] Safinatul Bihar, Syaikh Abbas Qumi, jilid 1, halaman 129.
[18] Al Maidah, ayat 27 – 31.
[19] Wasailus Syiah, Allamah Hurr Amili, jilid 11, halaman 69.
[20] Al A’raf, ayat 11-18; Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 6, halaman 98.
[21] Al Isra’, ayat 83.
[22] Az Zumar, ayat 53.
[23] An Nahl, ayat 102.
[24] Huud, ayat 9.
[25] Ali Imran, ayat 151.
[26] Al Munafiqun, ayat 4.
[27] Ghurarul Hikam wa Durarul Kalim, Abdul Wahid Amadi, “Berbaik sangka adalah ketenangan hati dan keselamatan agama.”
[28] Ibid.
[29] Bihar Al Anwar, Muhammad Baqir Majlisi, jilid 75, halaman 196.
[30] Ghurarul Hikam wa Durarul Kalim, Abdul Wahid Amadi, jilid 77, halaman 227.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Al Hujurat, ayat 12.
[34] Gami Be Suye Ravan Shenashi e Eslami (Selangkah Menuju Psikologi Islami), Hasan Muhammad Syarqawi,halaman 182.
[35] Ibid.
[36] Surah An Nas, ayat 1-6.
[37] Ushul Al Kafi, Muhammad ibn Ya’qub Kulaini, jilid 2, halaman 424.
[38] Ibid, halaman 463.
[39] Ibid, jilid 1, halaman 11.
[40] At Taubah, ayat 110.
[41] At Taubah, ayat 45.
[42] Al Munafiqun, ayat 4: “Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.”
[43] AL Ahzab, ayat 19: “Apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati.”
[44] Ali Imran, ayat 119 dan 120: “Dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercapur benci terhadap kamu.”