Al Qur’an adalah obat dan kesembuhan bagi bermacam sifat yang tak normatif namun tidak dianggap non normatif dalam khasanah ilmu psikologi. Dengan penjelasan lain, mungkin saja dari segi psikologis seseorang dianggap normal, namun ternyata dalam kamus Al Qur’an ia termasuk orang yang sakit; penyakit jiwa yang tak nampak di alam ini namun efeknya akan dirasakan di alam lain; karena alam dunia adalah ladang untuk akherat, dan keterikatan antara alam dunia dan akherat bagaikan keterikatan alam janin dengan alam dunia. Dalam tafsir Ayasyi, Mas’adah bin Shadaqah meriwayatkan dari Imam Shadiq as.:
“Mempelajari Al Qur’an adalah cara untuk mendapatkan kesembuhan ruhani.”[1]
Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
“Al Qur’an adalah hidangan Tuhan; sesuai dengan kemampuan kalian, nikmatilah hidangan ini.”[2]
Al Qur’an merupakan hidangan yang tak seorang pun bangkit dari hidangan itu dengan tangan kosong. Sekejap saja seseorang menatap tulisannya, ia sudah mendapatkan keuntungan besar; karena disebutkan bahwa menatap mushaf adalah ibadah.[3] Apalagi jika kita membacanya, dan lebih lagi jika kita memahami artinya; keuntungan yang kita dapat lebih banyak lagi. Imam Ali as. memerintahkan kita untuk membaca Al Qur’an; yang dengan membacanya derajat kita akan dinaikkan:
“Bacalah, dan naiklah (ke derajat yang lebih tinggi).”[4]
Imam Ali as. juga pernah menerangkan seperti apakah kesembuhan yang ditawarkan Al Qur’an; ia berkata:
“Nabi Muhammad saw. adalah seorang tabib berjalan; dimanapun ia berada ia akan mengobati luka umatnya. Ia selalu mempersiapkan alat-alat pengobatannya dan membawanya bersamanya sehingga saat ia memerlukannya, ia dapat menggunakannya. Ia selalu mencari setiap orang yang menderita, hamba yang lupa dan kebingungan, untuk mengobati hati yang buta, telinga yang tak mendengar dan mulut yang tak berbicara.”[5]
Rasulullah saw. pernah berkata kepada seorang tabib:
“Sesungguhnya Allah swt. adalah tabib (yang hakiki). Sedangkan engkau, bersikaplah yang baik terhadap orang yang sakit (pasien).”[6]
[1] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jilid 13, halaman 184, 212 dan 211.
[2] Amali, Sayid Murtadha Syaikh Thusi, majlis 27..
[3] Ushul Al Kafi, Muhammad ibn Ya’qub Kulaini, jilid 2, halaman 449.
[4] Wafi, Mula Muhsin Faiz Kashani, jilid 14, halaman 165.
[5] Nahjul Balaghah, khutbah ke 8.
[6] Mizanul Hikmah, Muhammad Mahdi Reyshahri, jilid 5, halaman 533.