Selasa, April 30

Apa itu tekanan jiwa?

Istilah tekanan jiwa atau stres[1] berasal dari kata latin (stpingene) yang berarti merangku, menekan dan membuka lebar; yakni prilaku-prilaku yang bersamaan dengan perasaan-perasaan yang saling bertentangan; sebagai contoh ketika ada seseorang dirangkul dengan erat dan ia merasa sesak. Oleh karena itu, istilah-istilah lain stres juga berasal dari kata ini.[2]

Makna asli kata ini, paling tidak, berkaitan pada abad ke-15. Berdasarkan yang tercatat dalam kamus bahasa Inggris Oxford, pada waktu itu kata tersebut digunakan atas makna “desakan” dan “tekanan fisik”. Pada tahun 1704, kata tekanan tersebut digunakan pada makna “kesusahan” dan “kemalangan”.[3] Pada abad 18, makna stres mengalami perubahan dan dimaksudkan untuk menjelaskan perubahan bentuk suatu logam dalam alat peleburan. Pada tahun 1910, William Osler menulis sebuah artikel tentang suatu penyakit khusus yang diderita kebanyakan orang Yahudi pada waktu itu dan menjelaskan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh pola hidup mereka yang keras dan tak menentu. Pada tahun 1936, profesor Hans Selye menerbitkan karangan pertamanya seputar sindrom stres. Ia pada tahun 1940 hingga 1950 terus menerus mengutarakan berbagai persepsinya tentang tekanan jiwa; dan pada tahun 1980 ia menjelaskan stres seperti ini:

“Seorang pedangang, menganggap pekerjaannya begitu menjengkelkan; petugas kontrol penerbangan mengeluh karena pekerjaannya membawa masalah dalam konsentrasi; para ahli biokimia juga demikian; begitu juga dengan para olahragawan. Kenyataan ini tidak hanya terbatas pada satu atau dua kasus saja; kebanyakan aktifitas manusia selalu dianggap seperti itu. Semoa orang menganggap pekerjaan yang ia lakukan adalah pekerjaan yang membawa stres dan mereka berkeyakinan bahwa diri mereka sedang hidup di era stres. Mereka lupa bahwa rasa takut yang dirasakan oleh manusia penghuni goa akan hewan buas yang mungkin memakannya di saat tidur, mati karena kelaparan, kedinginan atau kelelahan, sama besarnya dengan rasa takut kita di saat ini akan meletusnya perang dunia, kehancuran ekonomi, meledaknya populasi manusia, dan lain sebagainya.”[4]

Stres tidak memiliki satu definisi yang diterima oleh semua kalangan. Oleh karena itu di sini akan disebutkan beberapa definisi yang diutarakan:

  1. Brown & Campbell:

“Stres atau tekanan jiwa adalah sesuatu yang bersifat eksternal lalu ditimpakan kepada seseorang dan melahirkan beberapa gangguan fisik maupun psikis.”

Jadi menurut mereka stres merupakan faktor eksternal.

  1. Selye:

“Tekanan jiwa merupakan interaksi dan penyesuaian diri yang dilakukan tubuh karena faktor tekanan hidup atau interaksi antara suatu daya dan pertahanan melawan daya tersebut; yakni satu kumpulan tekanan dan perlawanan (reaksi akan tekanan).”

Menurut definisi ini, stres adalah sebuah proses respon. Dengan penjelasan lain, stres akan muncul dikarenakan terjadinya suatu peristiwa tertentu. Selye menyebut keterkaitan (antara terjadinya suatu peristiwa dan tekanan jiwa) tersebut sebagai upaya penyesuaian diri dan pada saat itulah tiga fase stres akan ditentukan. Fase fase tersebut akan dilewati saat organisme sedang berhadapan dengan faktor stres.

Fase pertama, fase kecemasan (the stage of alarm/alarm reaction): ketika suatu organisme secara tiba-tiba berada pada keadaan yang merugikannya dan secara kualitas maupun kuantitas tidak memiliki kesesuaian dengannya, dalam dirinya akan muncul reaksi kecemasan; yang mana Selye menyebutkan dua sub-fase bagi fase kecemasan tersebut:

Pertama, keadaan tak diinginkan yang dikarenakan reaksi mendadak terhadap stressor, memiliki ciri-ciri sebagaimana dapat dilihat pada organisme yang memiliki kelemahan sistim syaraf, seperti detakan jantung yang berdebar-debar. Keadaan ini mungkin berlangsung beberapa menit atau berketerusan hingga 24 jam. Jika keadaan tersebut tidak berujung pada kematian, organisme akan memasuki sub-fase kedua.

Kedua, keadaan dimana suatu organisme untuk kedua kalinya mengalami tekanan seperti sebelumnya lalu secara otomatis perangkat pertahanan dirnya menjadi aktif. Reaksi badan terhadap tekanan tersebut diperumpamakan seperti sistim keamanan anti pencuri dalam bank-bank; yang mana sistim keamanan tersebut akan bereaksi saat ada orang yang tak diinginkan, bahkan hewan atau benda matipun, masuk kedalam area tertentu. Oleh karena itu sistim syaraf menjadi peka dan menunjukkan hiper-reaksi terhadap faktor-faktor eksternal, bagaimanapun dan seperti apapun, yang berusaha masuk; lalu tubuh terdorong masuk dalam suatu keadaan siap bertahan.[5]

Seringkali dua keadaan di atas terwujud secara bercampuran dan jika faktor-faktor yang mewujudkan fase kecemasan tersebut tetap berdatangan, maka organisme akan memasuki fase perlawanan.

Fase kedua, fase perlawanan (the stage of resistance). Pada fase ini, yang mana merupakan fase kesesuaian diri yang ditunjukkan oleh tubuh, adalah fase kebertahanan tubuh dalam menghadapi tekanan dan faktor-faktornya. Secara lahiriah tubuh dalam fase ini terlihat seperti keadaan normal, padahal sesungguhnya ia sedang menghabiskan tenaga untuk pertahanannya. Ketika organisme terus menerus berada dalam keadaan ini, maka energi yang dimiliki tubuh akan habis dan organisme memasuki fase berikutnya, fase keletihan.

Fase ketiga, fase keletihan (the stage of exhaustion). Fase ini akan dimasuki begitu organisme mengakhiri fase perlawanan. Pada fase ini organisme kehilangan kekuatannya untuk menghadapi tekanan. Kemudian muncul reaksi-reaksi fisiologis yang mirip dengan reaksi yang nampak pada fase kecemasan, atau mungkin lebih dari itu; namun tubuh lebih cenderung untuk jatuh lemah daripada menunjukkan pertahanannya. Pada hakikatnya disinilah tubuh mulai mengalami gangguan-gangguan fisiologis akibat tekanan psikis.[6] Jika demikian, tekanan jiwa akan sangat membahayakan jika datang berketerusan dan dalam jangka waktu yang singkat.[7]

  1. Alexander, pimpinan Institut Psikologi Chicago berkata:

“Tekanan jiwa adalah ketidak-seimbangan antara pengetahuan seseorang terhadap keharusan-keharusan lingkungan sekitarnya dan pengetahuan terhadap potensi yang ia miliki dalam menjawab keharusan-keharusan tersebut.”

Definisi di atas menitik-beratkan pemahaman seseorang terhadap realita kondisi lingkungannya dan tekanan jiwa bergantung pada unsur-unsur luas yang saling berkaitan antara satu dengan sama lain seperti faktor dan respon, personaliti individu, sudut pandang, penyesuaian diri dan lain sebagainya. Dengan demikian, tekanan jiwa akan terjadi pada diri seseorang saat tidak terjadi keseimbangan antara kemampuan diri menghadapi situasi dan situasi (faktor lingkungan) itu sendiri. Definisi ini lebih memandang tekanan jiwa dari sisi intern-extern ketimbang sisi biologis. Oleh karenanya tekanan jiwa diakui muncul karena faktor eksternal.

[1] Dalam buku ini akan lebih sering digunakan istilah “tekanan jiwa” daripada yang lainnya.

[2] Tanidegi ya Estress (Stres dan Depresi), Stora, halaman 25.

[3] Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 19.

[4] Tanidegi ya Estress (Stres dan Depresi), Stora, halaman 14 – 25.

[5] Estress e Daemi (Stres Berkepanjangan), Pierre Lou & Hendri Lou, halaman 34 – 37.

[6] Ibid, halaman 25 & 26; Feshar e Ravani (Tekanan Jiwa), Martin C., halaman 19 – 23.

[7] Feshar e Ravani va Ezterab (Stres dan Depresi), Povel, halaman 44.