Keberadaan Rasulullah saw. sebagai nabi terakhir menuntut kekekalan Al Qur’an sebagai mukjizatnya agar dapat menjawab segala problematika penting yang dihadapi umat manusia di setiap zaman dan di mana saja serta memberikan pemahaman yang benar akan esensi manusia dan kehidupan sosialnya. Atas dasar ini Al Qur’an Karim tidak membatasiri risalahnya untuk masa dan tempat tertentu. Dengan penuh berani Al Qur’an menantang siapapun untuk menyainginya; yang merupakan bukti diturunkannya dari sang Ilahi. Al Qur’an adalah kitab suci yang meskipun seluruh umat manusia bekerjasama untuk menciptakan satu surah pun, niscaya mereka tak akan berhasil.
Pada lain sisi, Al Qur’an adalah sebuah kitab langit yang aman dari sentuhan tangan-tangan jahil pemalsu; karena Allah swt. sendiri yang menjaganya. Lebih dari itu, sirah Rasulullah saw. dan tradisi para sahabat serta tabi’in dalam menghafal, membaca, menulis dan mengumpulkan Al Qur’an merupakan bukti tambahan keterjagaannya dari tahrif.
Al Qur’an adalah bukti Ilahi dan mukjizat kekal Rasulullah saw. yang dipandang semua umat Islam sepanjang sejarah sebagai kitab kehidupan, hidayah dan aturan yang harus diikuti; mereka juga bertadabbur akan ayat-ayatnya dari berbagai macam sisi. Meski jarak kita semakin jauh dengan masa diturunkannya kitab suci ini, namun semakin saja bertambah keagungan dan kedalaman batinnya; semakin bertambah hari semakin bertambah banyak kajian-kajian dan penelitian yang dilakukan terhadapnya, khususnya berkaitan dengan bidang humaniora.
Allah swt. Menyebut Al Qur’an sebagai kesembuhan:
“Dan kami menurunkan dalam Al Qur’an, yang merupakan kesembuhan bagi hati dan rahmat bagi penghuni alam semesta.”[1]
Digunakannya kata syifa (kesembuhan) menunjukkan bahwa manusia selain mengalami derita-derita jasmani, mereka juga dapat mengalami derita ruhani, dan Al Qur’an adalah penyembuhnya.
[1] Al Isra’ ayat 82.