Senin, Desember 9

Aktualisasi diri manusia

Abraham Maslow berkata:

“Seorang musisi akan mendapatkan ketenangan dalam jiwanya saat ia memainkan alat musiknya. Begitu juga seorang pelukis akan mendapatkan ketenangan saat ia menggambar. Penyair juga seperti itu saat ia melantunkan syairnya. Setiap orang harus berupaya menjadi apa yang ia memang seharusnya. Dorongan dan kebutuhan inilah yang kita sebut aktualisasi diri. Istilah ini pada awal kalinya digunakan oleh Kurt Goldstein sebagai sebutan untuk dorongan manusia dalam mewujudkan potensi-potensinya; yang mana pewujudan potensi tersebut, ada pada diri setiap manusia, meskipun bersifat potensial. Dorongan seperti ini yang menciptakan dorongan-dorongan sepert berusaha untuk lebih dari ideal, menjadi pahlawan, menjadi inovator, pelukis ulung, dan seterusnya. Namun perlu diingat bahwa pemenuhan kebutuhan ini bergantung pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di tingkatan sebelumnya: kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta dan kasih sayang, serta kemuliaan.”[1]

Dorongan dan kebutuhan terhadap aktualisasi dapat disaksikan pada orang-orang yang kecenderungannya pada kesempurnaan dan maksimalisasi prilaku begitu kuat. Ciri-ciri orang yang haus kesempurnaan adalah:

  1. Tidak mencari pekerjaan yang mudah.
  2. Mencari pekerjaan yang dapat dibandingkan dengan pekerjaan orang lain.
  3. Gigih dalam bekerja.
  4. Tingkatan harapan-harapannya tinggi.
  5. Mengkontrol pekerjaan dan selalu waspada.

Mengenai aktualisasi dalam pandangan Islam, dapat dijelaskan seperti ini: umat manusia merupakan tambang emas dan perak, lalu para nabi datang untuk mengeluarkan emas dan perak itu. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

“Manusia adalah tambang, seperti tambang emas dan perak.”[2]

Dalam Al Qur’an diterangkan bahwa tidak ada makhluk selain manusia yang derajat tertinggi dan terendahnya begitu menakjubkan. Derajat tertinggi manusia adalah sebagai makhluk yang mana para malaikat bersujud di hadapannya,[3] menjadi khalifah Allah swt. di muka bumi,[4] para pengemban amanat Ilahi,[5] dan makhluk yang telah diciptakan dengan bentuk yang terbaik.[6] Ketika manusia selalu melakukan amal yang saleh, ia akan mencapai derajat makhluk yang tertinggi.[7] Manusia dapat mencapai suatu tingkatan yang mana ia hanya akan melihat Tuhan karena begitu dekat dengan-Nya: “Maka jadilah ia dekat sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi.”[8] Pada peristiwa mi’raj Rasulullah saw. begitu dekat dengan Allah swt. sampai malaikat Jibril berkata padanya:

“Jika aku naik lebih tinggi lagi, sayap-sayapku akan terbakar.”[9]

Dalam perjalanan maknawi ini, diri manusia tidak dapat ditukar dengan selain surga. Imam Ali as. berkata:

“Harga diri kalian tidak kurang dari surga. Maka janganlah kalian jual diri kalian kecuali untuk mendapatkan surga.”[10]

Dalam pandangan ini, diri manusia merupakan ringkasan alam semesta, sebuah wujud di hadapan alam semesta yang luas. Dalam sebuah kitab syair yang dinisbatkan kepada Imam Ali as. terdapat sebuah syair yang isinya:

“Apakah engkau mengira dirimu sesuatu yang kecil? Padahal dalam dirimu terdapat alam yang luas.”[11]

Adapun derajat terrendah manusia adalah derajat yang lebih hina dari hewan.[12] Manusia hatinya bisa lebih keras dari kerasnya batu.[13] Paling rendahnya derajat manusia ini disebut dalam Al Qur’an sebagai Asfalus Safilin,[14] tingkatan dimana manusia-manusia hina jatuh kedalamnya.[15]

Dalam perjalanan ini, baik perjalan menuju tingkata tertinggi ataupun tingkatan terhina, manusia bebas berkehendak. Apapun yang ditanam manusia itulah yang kelak akan ia dapatkan hasilnya. Namun sejujurnya tidak ada yang dapat didapat oleh manusia selain apa yang telah diusahakannya. Allah swt. berfirman: “Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”[16] Kata sa’y dalam bahasa Arab berarti berjalan dengan cepat dan berusaha. Al Qur’an menitik beratkan usaha, bukan amal; yakni yang terpenting adalah usaha, bukan sampai atau tidaknya kepada tujuan; yang menjadi asas adalah taklif, bukan hasil amal perbuatan. Apa yang dipahami dari ayat adalah akherat, namun tolak ukur sebenarnya adalah keduanya. Dalam ayat lainnya disebutkan:

“Katakanlah bahwa tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya (prilaku dan kepribadiannya).”[17]

Kata syakilah pada ayat di atas berakar pada kata syakl yang berarti menjinakkan hewan. Hubungan antara prilaku dan malakah (keadaan telah menjadi tetap dan mendarahdaging) seperti hubungan antara tubuh dan jiwa. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa di antara keduanya terdapat suatu keterikatan khusus. Syakilah (keadaan) manusia ada dua macam:

  1. Terwarisi dan sudah ada sejak manusia dilahirkan.
  2. Tergapai dan didapatkan karena usaha, lalu menetap dan mendarahdaging pada manusia.

Yang menjadi penentu amal perbuatan manusia adalah malakah-malakah macam kedua, oleh karena itu pahala dan siksa yang didapat manusia bertumpu pada ikhtiar dan kehendak diri manusia sendiri, bukan paksaan.[18]

Berdasarkan apa yang telah lalu, aktualisasi diri dalam tingkatan tertinggi manusia merupakan hal yang terpuji dan itulah tujuan diutusnya para nabi, karena agama memerintahkan kita untuk memandang diri kita dengan pandangan positif, kita harus merasakan kemerdekaan dan kemandirian, tidak boleh memandang diri dengan pandangan kehinaan, kelemahan dan keraguan.

Namun pembahasan aktualisasi diri harus disertai dengan prinsip penerimaan keadaan dan penilaian hakiki akan diri sendiri dan manusia harus selalu berada pada keadaan khauf wa raja (keadaan takut dan harapan). Karena mungkin saja manusia tidak dapat mengemban amanat ini lalu dikenal dengan dzalum (amat zalim) dan jahul (amat bodoh). Dalam doa Makarimul Akhlak, Imam Zainal Abidin as. berkata:

“Tuhanku, janganlah Engkau tinggikan derajatku diantara manusia kecuali pada saat yang sama Engkau ciptaan rasa hina bagi diriku sendiri di dalam hati ini.”[19]

Berdasarkan prinsip penerimaan keadaan, manusia merasa lemah di hadapan kehendak dan keputusan Tuhan. Prinsip ini tidak bertentangan dengan aktualisasi diri dan pada dasarnya merupakan penilaian hakiki terhadap diri sendiri; penilaian yang bertumpu pada tawakal dan harapan pada kekuatan Allah swt. yang tak akan sirna dan juga usaha, rasa cukup serta kemerdekaan dan akan mengantarkannya kepada tujuan yang hakiki.

[1] Anggize va Syakhsiyat (Motifasi dan Kepribadian), Abraham Maslow, halaman 82 – 84.

[2] Nahjul Balaghah, khutbah pertama.

[3] Shaad, halaman 71.

[4] Al Baqarah, ayat 30.

[5] Al Ahzab, ayat 72: “Sesungguhnya kami menyerahkan amanat…”

[6] Al Mukminun, ayat 14: “Maka mahasuci Allah swt. sebaik-baiknya pencipta.”; At Tin, ayat 4: “Kami telah menciptakan manusia dengan bentuk ciptaan yang terbaik.”

[7] Al Bayyinah, ayat 6: “Mereka adalah sebaik-baiknya makhluk.”

[8] An Najm, ayat 9.

[9] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jlid 1, Bahasan Rawi.

[10] Nahjul Balaghah, hikmah 456.

[11] Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 18, halaman 237.

[12] Al A’raf, ayat 179.

[13] Al Baqarah, ayat 74.

[14] At Tin, ayat 7.

[15] An Nisa’, ayat 145; Tafsir e Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jilid 27, halaman 144.

[16] An Najm, ayat 39.

[17] Al Isra’, ayat 84.

[18] Tafsir Al Mizan, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jlid 189 – 194; Ensan dar Eslam (Manusia dalam Islam), Abdullah Jawadi Amuli, halaman 30 – 35.

[19] Shahifah Sajjadiyah, doa ke-20 (Makarimul Akhlak).